
Geger PKPU Sritex, Separah Apa Saham-saham Emiten Tekstil?

Jakarta, CNBC Indonesia - Sektor tekstil dan garmen kembali menjadi sorotan akibat adanya kabar soal gugatan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) kepada salah satu pemain besar industri ini. Emiten yang dimaksud ialah PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex yang digugat PKPU oleh PT Bank QNB Indonesia Tbk (BKSW).
Sebelumnya, masih segar dalam ingatan mengenai kabar potensi pailit dan gagal bayar perusahaan raksasa tekstil lainnya, Duniatex Group, pada September 2019 lalu.
Namun, pada pertengahan tahun lalu, restrukturisasi utang Duniatex yang sebesar Rp 19 triliun akhirnya disepakati oleh para kreditor.
Berkaitan dengan kasus PKPU Sritex tersebut, pertanyaannya, bagaimana kinerja saham dan keuangan emiten-emiten produsen tekstil Tanah Air?
Siapa saja emiten yang membukukan kinerja terbaik dan terburuk?
Di bawah ini Tim Riset CNBC Indonesia akan membahas secara ringkas kinerja saham dan keuangan sejumlah emiten tekstil dalam sebulan dan secara year to date (Ytd).
Catatan saja, selain tujuh emiten yang dibahas di bawah ini, masih ada setidaknya 12 emiten tekstil lainnya yang tidak dimasukkan, lantaran saham-saham emiten tersebut tergolong kurang likuid.
Berdasarkan data di atas, ada empat emiten yang mencatatkan penurunan harga saham baik sebulan maupun Ytd.
Adapun saham emiten pembuat seragam militer, SRIL alias Sritex, menjadi yang paling ambles, baik dalam sebulan maupun sejak awal tahun.
Saham SRIL tersungkur 23,81% dalam sebulan terakhir, sementara secara Ytd saham tersebut anlok 38,93%.
Di posisi kedua ada Pan Brothers atau PBRX yang merosot 5,7% dalam sebulan, sementara sudah ambrol 32,93% secara Ytd.
Di sisi lain, saham Asia Pacific atau MYTX malah mencatatkan kinerja yang moncer. Dalam sebulan belakangan saham MYTX melesat 122,95%, adapun dalam sejak awal tahun saham emiten yang melantai di bursa sejak 1989 silam ini meroket 172%.
Begitu pula dengan saham ESTI atau Ever Shine yang merangsek naik 35,06% dalam sebulan dan melonjak 100% secara Ytd.
NEXT: Kinerja Keuangan Tekstil
Mengenai kinerja keuangan, dari ketujuh emiten di atas, baru dua emiten yang melaporkan kinerja keuangan per akhir Desember 2020, yakni SRIL dan Indorama (INDR). Sementara, lima sisanya masih berdasarkan laporan keuangan per kuartal III tahun lalu.
Apabila menilik kinerja keuangan, kinerja empat emiten tekstil masih tertekan, dengan tiga membukukan penurunan laba bersih dan satu emiten masih membukukan rugi bersih. Tiga emiten yang mencatatkan pengikisan laba bersih, yakni SRIL, INDR dan Eratex (ERTX). Sementara, ESTI masih membukukan rugi bersih per kuartal III 2020, kendati rugi bersih ini berkurang tinimbang periode yang sama tahun sebelumnya.
Adapun tiga emiten lainnya, mampu meningkatkan laba bersih di tengah pandemi Covid-19 sepanjang tahun lalu. Ketiganya ialah PBRX, TRIS dan MYTX. Khusus MYTX, perusahaan ini berhasil membalik rugi bersih pada periode yang sama 2019 menjadi untung pada triwulan III 2020.
Selanjutnya, Tim Riset CNBC Indonesia akan secara singkat membahas kinerja keuangan emiten yang mencatatkan kinerja saham paling moncer dan paling boncos.
Pertama, kita akan membahas kinerja keuangan Sritex alias SRIL , yang sahamnya paling boncos.
Sritex sedang mengalami tekanan keuangan yang besar, pasalnya tahun ini hingga tahun depan perusahaan memiliki utang yang akan jatuh tempo dalam jumlah yang cukup besar.
Pendapatan Sritex sepanjang 2020 sebenarnya meningkat, yakni sebesar 8,25% menjadi US$ 1,28 miliar atau setara dengan Rp 17,95 triliun (asumsi kurs US$ 1 = Rp 14.000) secara tahunan (year on year/YoY).
Namun, laba bersih SRIL turun sebesar 2,65%. Laba bersih yang tercatat dalam laporan keuangan 2020 sebesar Rp US$ 85,32 juta (Rp 1,19 triliun) dari sebelumnya US$ 87,65 juta di akhir 2019.
Sejalan dengan naiknya pendapatan perusahaan, beban pokok penjualan juga naik menjadi US$ 1,05 miliar dari sebelumnya US$ 946,58 juta.
Di pos liabilitas, terjadi kenaikan sepanjang tahun lalu menjadi US$ 1,17 miliar dari sebelumnya US$ 966,58 juta. Liabilitas jangka pendek tercatat sebesar US$ 398,34 juta dan liabilitas jangka panjang ditutup di angka US$ 781,22 juta.
Kabar terbaru, Bank QNB Indonesia melayangkan gugatan PKPU terhadap pemilik emiten tekstil, SRIL, Iwan Setiawan Lukminto dan anak usaha SRIL, PT Senang Kharisma Textil.
Informasi saja, berdasarkan laporan keuangannya perusahaan memiliki dua obligasi yang diterbitkan di Singapura melalui anak usahanya ini yang akan jatuh tempo pada 2024 dan 2025 nanti.
Obligasi pertama adalah Guaranteed Senior Notes senilai US$ 150 juta atau setara dengan Rp 2,10 triliun, asumsi kurs Rp 14.000/US$) dengan tingkat bunga 6,875% oer tahun. Surat utang ini diterbitkan pada 27 Maret 2017 dan akan jatuh tempo pada 27 Maret 2024.
Obligasi ini memiliki Sritex dan PT Sinar Pantja Djaja (SPD) sebagai penjaminnya, termasuk untuk pokok, premium (jika ada), bunga dan semua jumlah terutang lainnya berdasarkan obligasi tersebut.
Kedua adalah obligasi senilai US$ 225 juta atau Rp 3,15 triliun yang diterbukan pada 9 Oktober 2019. Surat utang ini dibanderol dengan bunga 7,25% per tahun dan akan jatuh tempo pada 16 Januari 2025.
Untuk obligasi ini yang bertindak sebagai penjamin adalah Sritex, SPD, PT Bitratex Industries dan PT Primayudha Mandirijaya.
Hal ini mendorong lembaga pemeringkat Fitch Ratings memutuskan untuk menurunkan peringkat Sritex ke CCC- dari B- pada awal bulan ini. Ini kedua kalinya Fitch melakukan penurunan rating perusahaan dalam periode dua bulan berturut-turut, setelah sebelumnya rating ini diturunkan dari BB- ke B-.
Dalam keterangan yang disampaikan oleh Fitch Ratings, saat ini perusahaan dalam posisi likuiditas yang lemah sedangkan perusahaan memiliki kebutuhan refinancing utang yang tinggi.
Sebab dari posisi likuiditas perusahaan pada akhir 2020 lalu, nilai kas mencapai US$ 187 juta atau Rp 2,71 triliun. Namun nilai utang yang akan jatuh tempo pada tahun ini saja mencapai US$ 277 juta atau lebih dari Rp 4 triliun, nilai ini di luar sindikasi US$ 350 juta sebelumnya. Dengan demikian, utang jatuh tempo nyaris Rp 10 triliun.
Selain kedua utang ini, secara berturut-turut perusahaan masih memiliki obligasi sebesar US$ 155 juta atau Rp 2,25 triliun jadi akan jatuh tempo pada 2024 dan obligasi sebesar US$ 225 juta atau Rp 3,26 triliun dengan due date(jatuh tempo) pada 2025.
Saat ini, pihak Sritex tengah mengajukan moratorium atas obligasi yang diterbitkan oleh anak usahanya Golden Legacy Pte Ltd di Singapura.
Permintaan moratorium ini akan dilakukan pre-trial conference pada Selasa mendatang (27/4) di The Singapore High Court, berdasarkan dokumen yang diperoleh CNBCIndonesia.
Adapun pengajuan ini didasarkan pada atas pasal 64 dari Undang-Undang No. 40 Tahun 2018 Tentang Kepailitan, Restrukturisasi dan Pembubaran (Insolvency, Restructuring and Dissolution Act 2018/IRDA) milik pemerintah Singapura.
Berbeda denga SRIL, MYTX malah berhasil membalik rugi bersih menjadi untung. Berdasarkan laporan keuangan per kuartal III 2020, MYTX membukukan laba bersih Rp 7,33 miliar, berbanding terbalik dari rugi bersih Rp 196,51 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Kenaikan laba bersih ini diiringi dengan menurunnya pendapatan usaha sebesar 27, 49% dari Rp 1,35 triliun pada triwulan III 2019 menjadi Rp 982,41 miliar pada periode yang sama tahun lalu.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Emiten Tekstil Lagi Ketar-Ketir
