
Rupiah Tak Terbendung, Dolar Singapura & Australia Rontok

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah sedang perkasa pada perdagangan Rabu (7/4/2021), tidak hanya dolar Amerika Serikat (AS), dolar Singapura hingga Australia sukses dibuat rontok.
Sebelum hari ini, rupiah sebenarnya membukukan pelemahan 2 haru beruntun melawan kedua dolar tersebut.
Pada pukul 11:45 WIB, rupiah menguat 0,17% melawan dolar Singapura di Rp 10.807,38/SG$, sementara melawan dolar Australia menguat 0,3% ke Rp 11.076,79/AU$.
Membaiknya sentimen pelaku pasar setelah Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global membuat rupiah perkasa. Sebagai mata uang emerging market, saat sentimen pelaku pasar membaik rupiah akan cenderung diuntungkan.
Dalam konferensi pers di sela-sela Pertemuan Musim Semi (Spring Meeting), Kepala Ekonom IMF Gita Gopinath menyebut proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini adalah 6%. Naik dibandingkan perkiraan sebelumnya yaitu 5,5%. Jika Produk Domestik Bruto (PDB) dunia benar-benar tumbuh 6%, maka akan menjadi catatan terbaik sejak 1973.
"Meski ada ketidakpastian yang sangat besar karena pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19), tetapi jalan keluar dari krisis ini semakin terlihat nyata," tegas Gopinath, sebagaimana diwartakan Reuters.
Sementara itu dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) melaporkan cadangan devisa mengalami penurunan yang cukup signifikan di bulan Maret lalu. Meski demikian, cadev masih tinggi sebab di bulan Februari berada US$ 138,8 miliar yang merupakan rekor tertinggi sepanjang masa.
Bank Indonesia (BI) hari ini melaporkan cadev per akhir Maret sebesar US$ 137,1 miliar, turun US$ 1,7 miliar dari bulan Februari.
"Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 10,1 bulan impor atau 9,7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Bank Indonesia menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan," tulis BI dalam rilisnya, Rabu (7/4/2021).
Menurut BI, penurunan cadangan devisa utama terjadi karena pembayaran utang luar negeri pemerintah yang jauh tempo.
Selain pembayaran utang jatuh tempo, rupiah yang mengalami tekanan di bulan Maret lalu kemungkinan besar juga menggerus cadev. Pelemahan rupiah tentunya membuat kebutuhan penggunaan cadev untuk melakukan intervensi cukup besar.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sedang Tak Berharga, Dolar Makin Banyak 'Dibuang'
