Cadangan Devisa RI Turun US$ 1,7 M, Ini Tho Penyebabnya...

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
07 April 2021 11:47
Dollar
Foto: Freepik

Jakarta, CNBC Indonesia - Cadangan devisa Republik Indonesia mengalami penurunan yang cukup signifikan pada Maret 2021. Meski demikian, cadangan devisa masih relatif tinggi tinggi.

Bank Indonesia (BI) hari ini melaporkan cadev per akhir Maret sebesar US$ 137,1 miliar, turun US$ 1,7 miliar dari bulan Februari.

"Posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Maret 2021 tercatat sebesar 137,1 miliar dolar AS, tetap tinggi meskipun menurun dibandingkan dengan posisi pada akhir Februari 2021 sebesar 138,8 miliar dolar AS," tulis BI dalam rilisnya, Rabu (7/4/2021).

"Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 10,1 bulan impor atau 9,7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Bank Indonesia menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan," lanjut keterangan BI.

Menurut BI, penurunan cadangan devisa utama terjadi karena pembayaran utang luar negeri pemerintah yang jauh tempo.

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pembiayaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, utang pemerintah yang jatuh tempo di tahun ini sebesar Rp 268 triliun. Dari total tersebut sebanyak Rp 211 triliun merupakan utang di Surat Berharga Negara (SBN) dan Rp 67 triliun merupakan pinjaman luar negeri.

idrFoto: DJPPR

Selain pembayaran utang jatuh tempo, rupiah yang mengalami tekanan di bulan Maret lalu kemungkinan besar juga menggerus cadangan devisa. Pelemahan rupiah tentunya membuat kebutuhan penggunaan cadangan devisa untuk melakukan intervensi cukup besar.

Sepanjang bulan Maret, nilai tukar rupiah mengalami pelemahan nyaris 2% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS), dan menyentuh level terlemah dalam 5 bulan terakhir. Guna menstabilkan nilai tukar rupiah, BI melakukan triple intervention, yakni intervensi di pasar Domestic Non-Delivery Forward (DNDF), di pasar spot, dan di pasar obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN).

"BI telah dan akan selalu berada di pasar untuk menjaga stabilitas nilai tukar melalui instrumen triple intervention di spot market, DNDF jual serta pembelian SBN yang dilakukan secara terukur baik jumlah atau sequence-nya, timely dengan tetap mengedepankan mekanisme pasar sesuai fundamentalnya," kata Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI), Hariyadi Ramelan kepada CNBC Indonesia, Selasa (30/3/2021)

Hariyadi menyampaikan, kondisi sekarang paling besar dipengaruhi oleh sentimen negatif dari AS. Sehingga tekanan terhadap rupiah tidak bisa dihindarkan.

"Dinamika pelemahan rupiah lebih banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal yaitu penguatan nilai tukar USD secara broadbased ke level tertinggi selama 4 bulan terakhir," kata Hariyadi.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Harga Komoditas Andalan RI Meroket

Harga komoditas ekspor andalan Indonesia naik tajam di bulan Maret, yang tentunya membantu mengurangi tergerusnya cadangan devisa.

Rata-rata harga minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) di bulan Maret sebesar 3.830 ringgit per ton (sekitar US$ 930/ton). Harga tersebut naik 8,15% dari rata-rata Februari. Pada 15 Maret lalu, harga CPO di bursa derivatif Malaysia bahkan menyentuh 4.175 ringgit per ton yang merupakan level tertinggi sejak Desember 2008.

Pemerintah di awal Desember 2020 mengubah besaran tarif pungutan ekspor minyak kelapa sawit menjadi disesuaikan berdasarkan batasan lapisan nilai harga CPO yang mengacu pada harga referensi yang ditetapkan Menteri Perdagangan.

Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan No.191/PMK.05/2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan No.57/PMK.05/2020 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit Pada Kementerian Keuangan. Peraturan tersebut berlaku sejak 10 Desember 2020.

Dalam peraturan baru tersebut, tarif pungutan ekspor untuk minyak kelapa sawit (CPO) minimal sebesar US$ 55 per ton dan paling tinggi US$ 255 per ton. Dengan harga CPO di kisaran US$ 930 per ton maka pungutan ekspor sebesar US$ 210 per ton.

Sementara itu komoditas andalan lainnya, batu bara, juga mengalami kenaikan bulan lalu. Meski, Harga Batu Bara Acuan (HBA) bulan lalu sebenarnya turun 3,78% ke US$ 84,47 per ton.

Rata-rata harga batu bara ICE Newcastle di bulan Maret sebesar US$ 88,5 per ton, naik 8,05% dari bulan sebelumnya. Harga batu bara bahkan sempat nyaris mencapai US$ 100 per ton pada 23 Maret lalu, tertinggi sejak Februari 2019.

Kenaikan harga batu bara tersebut membuat HBA bulan April naik 2,62% ke US$ 86,68 per ton.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular