Analisis Teknikal

Rupiah 7 Pekan Tak Pernah Menguat, Bagaimana Pekan Ini?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
05 April 2021 08:49
Dollar-Rupiah
Foto: Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah 0,76% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.520/US$ sepanjang pekan lalu. Mata Uang Garuda bahkan sempat menyentuh level Rp 14.590/US$, terlemah sejak 4 November lalu. Rupiah juga sudah melemah dalam 7 pekan beruntun dengan total nyaris 4%.

Memburuknya sentimen pelaku pasar menjadi pemicu pelemahan rupiah sepanjang pekan lalu. Selain itu, Yield obligasi (Treasury) AS tenor 10 tahun yang naik ke atas 1,7% dan berada di level tertinggi sejak Januari 2020 menjadi pemicu penguatan dolar AS.

Yield Tresury tersebut berada di level sebelum virus corona menjadi pandemi, dan bank sentral AS (The Fed) belum membabat habis suku bunganya serta mengaktifkan kembali program pembelian aset (quantitative easing/QE) senilai US$ 120 miliar per bulan pada Maret 2020.

Ekspektasi pemulihan ekonomi AS yang lebih cepat dari perkiraan, serta kenaikan inflasi membuat pelaku pasar melepas Treasury yang membuat yield-nya naik.

Alhasil, selisih yield Treasury dengan Surat Berharga Negara (SBN) menjadi menyempit. Dengan status Indonesia yang merupakan negara emerging market, menyempitnya selisih yield membuat SBN menjadi kurang menarik, sehingga memicu capital outflow yang pada akhirnya menekan rupiah.

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, sepanjang tahun ini hingga 29 Maret lalu, terjadi capital outflow sebesar Rp 20 triliun di pasar obligasi. Pada periode yang sama, nilai tukar rupiah melemah 2%.

Menurut ekonom senior Chatib Basri, kondisi sekarang dinamakan tantrum without tapering alias pembalikkan atau gejolak sudah terjadi padahal The Fed tidak menaikkan suku bunga acuan. Hal ini bisa terhenti atau tidak sangat bergantung pada kekuatan The Fed menjaga pergerakan pasar.

The Fed, kata Chatib mungkin akan mengambil langkah dengan intervensi pada yield Treasury. Caranya Bank Sentral membeli surat utang jangka panjang dari pasar. Tujuannya agar yield tidak terlalu tinggi.

"Kalau dilakukan maka ekspektasi inflasi bisa dikendalikan, itu berarti The Fed harus beli bond jangka panjang, harus stabilisasi," ujarnya kepada CNBC Indonesia, Rabu (24/3/2021).

Meski pasar melihat pemulihan ekonomi AS bisa berjalan dengan cepat, tetapi data tenaga kerja memberikan gambaran yang sedikit berbeda. Tingkat pengangguran di bulan Maret memang turun menjadi 6% dari bulan sebelumnya 6,2%, kemudian penyerapan tenaga kerja diluar sektor pertanian (non-farm payroll) tercatat sebanyak 916.000 orang, terbanyak sejak Agustus 2020 lalu.

Tetapi ada satu yang mengganjal, rata-rata upah per jam turun 0,1% pada bulan lalu, setelah naik 0,3% di bulan sebelumnya. Padahal, upah merupakan komponen penting dalam pemulihan ekonomi AS, serta keniakan inflasi. Sehingga penurunan rata-rata upah per jam tersebut bisa memberikan sentimen negatif ke dolar AS.
Selain itu, ada kabar baik dari dalam negeri yang bisa menjadi sentimen positif bagi rupiah di pekan ini.

Data yang dirilis Kamis (1/4/2021) menunjukkan aktivitas manufaktur Indonesia meningkat tajam pada Maret 2021. Bahkan peningkatannya hingga mencapai posisi tertinggi sepanjang sejarah.

Aktivitas manufaktur, dicerminkan oleh Purchasing Managers' Index (PMI), berada di 53,2 pada Maret 2021. Naik cukup tajam dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 50,9 sekaligus menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah pencatatan PMI oleh IHS Markit yaitu sejak April 2011.

"Perbaikan yang menembus rekor ini didorong oleh pertumbuhan pesanan baru (new orders) dan produksi (output), keduanya mencapai angka tertinggi sejak survei dilakukan Produksi meningkat lima bulan beruntun karena dorongan permintaan baru," sebut keterangan tertulis IHS Markit, Kamis (1/4/2021).

Dengan tingginya permintaan dan produksi, perusahaan meningkatkan pemesanan bahan baku. Para responden optimistis bahwa peningkatan produksi akan bertahan lama (sustainable) setidaknya sampai tahun depan.

Data tersebut menunjukkan pemulihan ekonomi masih terus berjalan.

Sementara itu di pekan ini, data cadangan devisa serta penjualan ritel Indonesia bisa menjadi salah satu penggerak rupiah.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Pola Shooting Star Bisa Bawa Rupiah Menguat 

Secara teknikal, tekanan bagi rupiah yang disimbolkan USD/IDR cukup besar setelah berada di atas Rp 14.500/US$.

Rupiah berada di atas rerata pergerakan (moving average) MA 200 hari, sebelumnya juga sudah melewati MA 50 (garis hijau), dan MA 100 (garis oranye). Artinya rupiah kini bergerak di atas 3 MA sehingga tekanan menjadi semakin besar.

Meski demikian, Kamis (1/4/2021) rupiah membentuk pola Shooting Star. Pola ini merupakan sinyal pembalikan arah, artinya USD/IDR berpotensi bergerak turun dengan kata lain rupiah berpeluang menguat.

idrGrafik: Rupiah (USD/IDR) 
Foto: Refinitiv

Potensi penguatan rupiah diperbesar dengan indikator stochastic yang berada dari wilayah jenuh beli (overbought).

Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah overbought (di atas 80) atau oversold (di bawah 20), maka suatu harga suatu instrumen berpeluang berbalik arah.

Support terdekat berada di kisaran Rp 14.500/US$, jika mampu ditembus rupiah berpeluang menguat ke kisaran Rp 14.450-14.470/US$. Penembusan ke bawah level tersebut akan membuka ruang penguatan lebih jauh di pekan ini setidaknya menuju Rp 14.420 hingga 14.390/US$.

Namun, Selama tertahan di atas Rp 14.500/US$, rupiah berisiko melemah ke Rp 14.570 hingga 14.590/US$. Jika level tersebut dilewati, rupiah berisiko melemah menuju Rp 14.700/US$ di pekan ini.

TIM RISET CNBC INDONESIA 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular