Jakarta, CNBC Indonesia - Apa daya jadi Indonesia. Masalah ada di negara lain tapi tanah air yang harus ketiban sialnya. Liat saja nasib Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan rupiah dalam beberapa waktu terakhir.
Hingga Kamis kemarin, IHSG sudah merosot 4 hari beruntun dengan total 3,7%. Rupiah sudah terperosok lebih dulu, sekarang tengah bertengger di level Rp 14.400 per dolar Amerika Serikat (AS). Sementara fundamental ekonomi dalam negeri terbilang baik.
"Jadi sebenarnya itu persepsi general, RI dan negara emerging market lain dilihat sebagai risk, lebih berisiko dibandingkan negara maju," kata Ekonom Bank Permata Josua Pardede kepada CNBC Indonesia, Jumat (26/3/2021).
Di tataran global ada beberapa persoalan yang muncul. Pertama, kembali tegangnya tensi antara China dengan Amerika Serikat serta sekutu-sekutunya.
Kemudian adanya peningkatan kasus covid di Eropa sehingga diperkirakan ekonominya semakin memburuk. Masalah lainnya juga datang dari AS yang diperkirakan ekonominya terlalu kuat di tahun ini.
Beragam persoalan tersebut menjadi sentimen negatif buat Indonesia sehingga mendorong terjadinya outflow.
"Saya liat kepemilikan asing di saham dan obligasi kita dimiliki asing dominan. Makanya kalau dinamika khususnya investasi asing lumayan terpengaruh," ungkap Josua.
Kondisi seperti ini selalu saja saja terjadi setiap waktu. Maka itu solusinya menurut Josua adalah pendalaman pasar keuangan. Pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya harus menyediakan berbagai instrumen agar orang Indonesia semakin banyak terlibat.
"Jadi kalau ada gejolak tidak apa-apa investor asing keluar tapi yang investor dalam tetap solid. Jadi perdalam investor dalam negeri," tegasnya.
Halaman Selanjutnya >> China Vs AS dan Teman-temannya
AS, Uni Eropa, Inggris, dan Kanada memberlakukan sanksi kepada pejabat pemerintah China yang dituding terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia terhadap etnis minoritas di Xinjiang.
Uni Eropa menjatuhkan sanksi kepada empat orang pejabat pemerintahan China dan satu institusi. Sanksi yang dikenakan adalah larangan masuk dan pembekuan aset.
China tentu tidak terima. Beijing langsung membalas dengan memberlakukan sanksi kepada sejumlah anggota parlemen Uni Eropa, Komite Politik dan Keamanan Uni Eropa, serta dua institusi lainnya.
Tegangnya kembali tensi antara Sino-AS tentu saja menjadi sentimen buruk apalagi jika tensi tersebut kembali merembet ke perang dagang antara kedua negara dengan perekonomian terbesar di dunia.
Investor sedang mencermati perkembangan pandemi virus corona, utamanya di Eropa. WHO mencatat, jumlah pasien positif corona di Benua Biru per 23 Maret 2021 adalah 42.870.334 orang. Bertambah 162.860 orang dari hari sebelumnya.
Selama dua pekan terakhir, rata-rata tambahan pasien baru adalah 198.751 orang per hari. Melonjak dibandingkan rerata 14 hari sebelumnya yakni 162.341 orang per hari.
Oleh karena itu, Eropa kini dinilai sudah terpukul oleh gelombang serangan ketiga (third wave outbreak) virus corona. Gelombang yang membuat sejumlah negara kembali memperketat pembatasan sosial (social distancing).
Prancis memberlakukan karantina wilayah (lockdown) di tujuh wilayah, termasuk ibu kota Paris. Lockdownakan berlaku selama sebulan. Selain itu, berlaku jam malam secara nasional yaitu pada pukul 19:00.
Di Jerman, Kanselir Angela Merkel memutuskan untuk memperpanjang lockdown hingga 18 April 2021. Warga Negeri Panser diminta untuk tetap di rumah selama libur Hari Paskah.
Sepertinya prospek ekonomi Benua Biru tidak akan secerah perkiraan sebelumnya. Bank Sentral Uni Eropa (ECB), mengungkapkan bahwa ekonomi Eropa tahun ini diperkirakan tumbuh 4%. Ini sudah memasukkan faktor lockdown di mana memperburuk ekonomi di kuartal II-2021.
Ketua bank sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed, Jerome Powell, melakukan rapat kerja dengan Kongres AS dalam 2 hari terakhir. Powell pada kesempatan kali ini menyebut perekonomian AS akan sangat kuat di tahun 2021.
Pulihnya perekonomian AS bisa menjadi kabar baik sekaligus kabar buruk juga. Kabar baiknya, ketika negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia ini pulih, negara-negara lainnya juga akan terkerek bangkit. Sebab roda bisnis akan berputar lebih cepat, ekspor ke Negeri Paman Sam akan meningkat.
Tetapi kabar buruknya, yield obligasi (Treasury) dan indeks dolar AS sedang menanjak lagi pada hari ini. Indeks dolar AS bahkan mencapai level tertinggi 4 bulan, dan pagi ini naik 0,27%.
Hal ini mendorong terjadinya capital outflow dari negara-negara emerging market menuju Amerika Serikat. Sehingga mata uang emerging market seperti rupiah mengalami tekanan.