
Parah! Pasar Keuangan RI Makin Lesu, Ini Biang Keroknya

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan di Tanah Air semakin lesu. Dana asing masih terus mengalir keluar (outflow) sejak pertengahan Februari lalu. Di pasar obligasi saja, outflow yang terjadi dalam 2 pekan terakhir mencapai Rp 20 triliun.
Wellian Wiranto, Ekonom OCBC Bank Singapore menjelaskan, persoalan utama di pasar keuangan saat ini bersumber dari Amerika Serikat (AS). Ekonomi AS diproyeksi pulih lebih cepat sehingga mendorong kenaikan imbal hasil atau yield dari US Treasury, obligasi AS.
Inflasi AS juga diperkirakan terus naik sehingga banyak yang berspekulasi Bank Sentral AS Federal Reserve the (Fed) akan menaikkan suku bunga acuan dalam rapat yang tengah berlangsung pada Rabu ini.
"Itu mengapa challenging periode dengan adanya kenaikan imbal hasil yield US Treasury ini," ungkap Wellian dalam program CNBC TV, Rabu (17/3/2021).
Wellian memandang pelaku pasar tengah mencari posisi baru, sehingga dalam waktu dekat yield US Treasury masih dimungkinkan untuk terus naik.
Sebagai informasi, harga obligasi dan yield obligasi bertolak belakang, jadi ketika harga naik maka yield obligasi turun. Sebaliknya ketika harga obligasi turun, maka yield-nya naik.
"Karena ekonomi AS itu sedang memulih dengan cukup pesat, ditambah lagi dengan vaksinasi program Joe Biden [Presiden AS] yang cukup cepat dan adanya stimulus US$ 1,9 triliun [setara Rp 27.000 triliun, kurs Rp 14.000/US$] yang besar itu, jadi mau gak mau beberapa unsur itu akan terus mendorong ekonomi AS untuk pulih dengan pesat," jelasnya.
Ketakutan Wellian saat ini adalah reaksi pasar yang berlebihan terhadap keputusan dari The Fed dan terjadi tiba-tiba. Para pemegang dana pasti akan dibuat bingung untuk menebak arah pergerakan selanjutnya.
"Yang saya takuti itu di periode-periode singkat, bisa saja market itu over reacting, bisa saja mendorong kenaikan suku bunga sampai menjebol level sekian persen itu. Itu volatilitas yg diciptakan dalam situasi itu yang kita khawatirkan," paparnya.
Pemerintah dan regulator lainnya seperti Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga harus mempersiapkan segala kemungkinan yang terjadi. Beruntung cadangan devisa cukup besar, sehingga bisa meredam kalau terjadi gejolak nilai tukar.
"Saya rasa BI udah cukup tebal, mereka ramai-ramai mengumpul cadev [cadangan devisa] dan Februari di atas US$ 138 miliar [setara Rp 1.932 triliun], bisa digunakan dalam periode high volatility kayak gitu," tegas Wellian.
Dari pasar saham, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terlempar di teritori negatif pada perdagangan sesi pertama Rabu (17/3/2021), di tengah terus meningkatnya imbal hasil obligasi AS.
Data BEI mencatat, IHSG dibuka naik 0,13% ke 6.318,06 tetapi berakhir di 6.2827,688 pada penutupan sesi pertama, atau melemah 0,35% (22 poin). IHSG hanya bertahan di jalur hijau sekitar 20 menit usai pembukaan dan kemudian tenggelam di zona merah.
Meski hari ini asing masuk Rp 47 miliar di pasar saham, tapi sebulan terakhir asing mencatatkan net sell Rp 507 miliar.
(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bukan Ekonomi RI, Nasib Rupiah Bergantung ke Amerika!