
Yield Treasury Nanjak Terus, Awas Rupiah Tembus Rp 14.400/US$

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (15/3/2021), setelah mencetak pelemahan 4 pekan bertuntun. Selama periode tersebut, rupiah total melemah nyaris 3%. Rupiah nyaris menembus lagi level Rp 14.400/US$
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan di level Rp 14.380/US$, sama persis dengan posisi penutupan perdagangan Jumat pekan lalu. Setelahnya, rupiah masuk ke zona merah, melemah tipis 0,07% di Rp 14.390/US$.
Kenaikan yield obligasi (Treasury) masih menjadi penekan utama rupiah, dan masih akan menjadi salah satu penggerak utama di pekan ini. Di awal perdagangan hari ini, yield Treasury AS mengalami penurunan 2,26 basis poin ke 1,6124%, tetapi masih di level tertinggi dalam satu tahun terakhir.
Pada pekan lalu, yield Treasury tenor 10 tahun naik 8,1 basis poin ke 1,635%, level tersebut merupakan yang tertinggi sejak Februari 2020 lalu, sebelum virus corona dinyatakan sebagai pandemi, dan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) belum membabat habis suku bunganya menjadi 0.25%.
Melesatnya yield Treasury ke level pra pandemi tersebut terjadi akibat ekspektasi pemulihan ekonomi AS serta kenaikan inflasi. Alhasil, para pelaku pasar melepas kepemilikan Treasury yang membuat yield-nya menjadi naik.
Selain itu, ekspektasi pemulihan ekonomi AS yang lebih cepat dari prediksi serta kenaikan inflasi membuat pelaku pasar melihat ada peluang The Fed akan mengurangi program pembelian aset (quantitative easing/QE) atau yang dikenal dengan istilah tapering, yang bisa memicu taper tantrum.
Taper tantrum pernah terjadi pada 2013 hingga 2015, saat itu kurs rupiah melemah hingga lebih dari 50%.
Oleh karena itu, rupiah terus mengalami tekanan belakangan ini. Di pekan ini, The Fed akan mengumumkan kebijakan moneternya yang tentunya akan menjadi perhatian utama pelaku pasar.
Bank sentral di bawah pimpinan Jerome Powell ini sebelumnya berulang kali menegaskan belum akan merubah kebijakannya dalam waktu dekat, begitu juga dengan tapering.
Oleh karena itu, pelaku pasar maupun ekonom memperkirakan The Fed akan mengaktifkan kembali Operation Twist yang pernah dilakukan 10 tahun yang lalu, saat terjadi krisis utang di Eropa.
Kebijakan tersebut dilakukan untuk meredam kenaikan yield Treasury. Sebab, kenaikan yield Treasury bisa mengerek biaya pinjaman, sehingga likuiditas berisiko tersendat dan pemulihan ekonomi AS menjadi terhambat.
Operation Twist dilakukan dengan menjual obligasi AS tenor pendek dan membeli tenor panjang, sehingga yield obligasi tenor pendek akan naik dan tenor panjang menurun. Hal tersebut dapat membuat kurva yield melandai.
The Fed sudah 2 kali menjalankan Operation Twist, pada 2011 dan 1961. CNBC International melaporkan pelaku pasar yang mengetahui perihal operasi tersebut mengatakan jika The Fed sudah menghubungi dealer-dealer utama untuk menjalankan operasi tersebut.
Mark Cabana, ahli strategi suku bunga di Bank of America Global Research, mengatakan Operation Twist merupakan kebijakan yang sempurna untuk meredam gejolak di pasar obligasi.
"Operation Twist, dengan menjual obligasi tenor rendah dan membeli tenor panjang secara simultan adalah kebijakan yang sempurna menurut pandangan kami," kata Cabana, sebagaimana dilansir CNBC International, Senin (1/3/2021).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sedang Tak Berharga, Dolar Makin Banyak 'Dibuang'
