
Gagahnya Rupiah, Semua Jenis Dolar Dilibas Habis!

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah sedang perkasa pada Jumat (12/3/2021), akibat membaiknya sentimen pelaku pasar global. Saat sentimen pelaku pasar membaik, aliran modal masuk ke dalam negeri dan membuat rupiah perkasa, dan semua jenis dolar dilibas.
Melansir data Refinitiv, pada pukul 13:45 WIB, rupiah menguat 0,21% melawan dolar Amerika Serikat (AS) di Rp 14.365/US$.
Di waktu yang sama dolar Singapura dan dolar Kanada masing-masing turun 0,45% dan 0,4% ke Rp 10.696,74/SG$ dan Rp 11.411,99/CA$
Sementara dari selatan Indonesia, dolar Australia dan Selandia Baru dibuat melemah 0,49% dan 0,55% ke Rp 11.152,56/AU$ dan 10.343,53/NZ$.
Masuknya aliran modal di dalam negeri terlihat dari penurunan (imbal hasil) yield Surat Berharga Negara (SBN). Yield SBN tenor 10 tahun hari ini turun 5,7 basis poin ke 6,666%.
Pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi. Ketika yield turun maka harganya sedang naik, begitu juga sebaliknya. Saat harga sedang naik, artinya sedang ada aksi beli.
Aksi beli tersebut menjadi indikasi masuknya aliran modal ke pasar obligasi. Selain itu dari pasar saham juga terjadi hal yang sama. Hingga sesi I lalu, investor asing melakukan aksi beli bersih Rp 2 miliar.
Memang sangat kecil, tetapi setidaknya menunjukkan adanya capital inflow di pasar saham, setelah terjadi outflow lebih dari 1,1 triliun di 2 hari pertama perdagangan pekan ini.
Sentimen pelaku pasar yang membaik, hingga kembali mengalirkan modalnya ke negara emerging market terjadi salah satunya dipicu oleh bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) mengambil langkah guna meredam kenaikan yield obligasi.
Dalam pengumuman hasil rapat kebijakan moneter Kamis kemarin, ECB menyatakan akan meningkatkan pembelian aset seperti obligasi (Quantitative Easing/QE) di kuartal II-2021 nanti.
Untuk diketahui, dalam menghadapi kemerosotan ekonomi akibat pandemi penyakit virus corona (Covid-19), ECB menggelontorkan stimulus moneter dengan QE yang disebut Pandemic Emergency Purchasing Program (PEPP), yang nilainya mencapai 1,85 triliun euro, yang ditargetkan akan habis pada Maret 2022.
Pada kuartal I-2021 ini, nilai QE yang digelontorkan ECB dikatakan lebih rendah dari sebelumnya, sehingga akan ditingkatkan lagi di kuartal selanjutnya.
"Berdasarkan penilaian bersama mengenai kondisi finansial dan outlook inflasi, Dewan Gubernur mengharapkan pembelian aset melalui PEPP di kuartal selanjutnya akan lebih tinggi ketimbang bulan pertama tahun ini," tulis ECB dalam rilisnya usai rapat kebijakan moneter, sebagaimana dilansir CNBC International, Kamis (11/3/2021).
Dengan nilai pembelian obligasi yang ditingkatkan, yield-nya tentunya akan menurun. Kenaikan yield yang dimulai di AS (Treasury) membuat sentimen pelaku pasar memburuk belakangan ini.
Tidak hanya di AS, di Eropa juga mengalami kenaikan yield. Yield obligasi Jerman tenor 10 tahun misalnya, pada 26 Februari lalu mencapai level tertinggi 1 tahun di -0,203%.
Untuk diketahui, yield obligasi di Eropa memang sudah negatif dalam waktu yang cukup lama, sebab ECB menerapkan suku bunga acuan 0%.
Kenaikan yield dikhawatirkan akan mengganggu pemulihan ekonomi, sebab biaya pinjaman berisiko meningkat. Oleh karenanya, ECB berkomitmen untuk meningkatkan laju pembelian aset, yield obligasi di Eropa akhirnya menurun. Yield obligasi Jerman juga terus menurun, dan hari ini berada di level -0,331%, alhasil sentimen pelaku pasar jadi membaik.
Setelah ECB, bank sentral AS (The Fed) juga diperkirakan akan mengambil langkah guna meredam kenaikan yield Treasury.
Ketua The Fed, Jerome Powell, pada rapat kebijakan moneter 16 - 17 Maret waktu setempat diperkirakan akan mengaktifkan kembali Operation Twist yang pernah dilakukan 10 tahun yang lalu, saat terjadi krisis utang di Eropa.
Operation Twist dilakukan dengan menjual obligasi AS tenor pendek dan membeli tenor panjang, sehingga yield obligasi tenor pendek akan naik dan tenor panjang menurun. Hal tersebut dapat membuat kurva yield melandai.
Mark Cabana, ahli strategi suku bunga di Bank of America Global Research, mengatakan Operation Twist merupakan kebijakan yang sempurna untuk meredam gejolak di pasar obligasi.
"Operation Twist, dengan menjual obligasi tenor rendah dan membeli tenor panjang secara simultan adalah kebijakan yang sempurna menurut pandangan kami," kata Cabana, sebagaimana dilansir CNBC International, Senin (1/3/2021).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Masih Tertekan, Rupiah Bisa Sentuh Rp 14.800/USD di Q2-2021
