
Dolar AS Sedang Babak Belur, Saatnya Rupiah Melesat

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah melemah tipis 0,03% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.395/US$ pada perdagangan Rabu lalu. Sementara pasar keuangan dalam negeri libur pada Kamis kemarin saat dolar AS sedang babak belur.
Kabar baiknya, penurunan dolar AS masih berlanjut hingga hari ini, Jumat (12/3/2021), sehingga berpeluang membawa rupiah melesat, setelah melemah 5 hari beruntun.
Kamis kemarin, indeks dolar AS turun 0,44%, bahkan dalam 2 hari sebelumnya juga turun dengan total 0,53%.
Penurunan indeks yang mengukur kekuatan dolar AS masih berlanjut pagi ini, meski tipis saja 0,01% di 91,408.
Yield obligasi (Treasury) AS yang turun dari level 1,6% serta inflasi yang masih rendah membuat kecemasan akan taper tantrum mereda, dan dolar AS pun kehilangan keperkasaannya.
Pemerintah AS pada Rabu lalu melaporkan inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) dilaporkan masih rendah. CPI bulan Februari dilaporkan tumbuh 0,4% (month-to-month/MtM), sementara dibandingkan tahun lalu atau secara year-on-year (YoY) tumbuh 1,7%.
Inflasi inti, yang tidak memasukkan sektor makanan dan energi dalam perhitungan tumbuh 0,1% MtM,, dan 1,3% YoY, turun dibandingkan bulan sebelumnya 1,4% YoY.
Penurunan inflasi inti secara YoY tersebut menunjukkan kenaikan harga-harga masih belum stabil, dan inflasi masih lemah.
"Data CPI sangat berguna untuk mengingatkan pelaku pasar jika inflasi di AS masih lemah," kata Joe Capurso, analis mata uang di Commonwealth Bank of Australia, sebagaimana dilansir Reuters, Kamis (11/3/2021).
Sebelumnya terus menanjaknya yield Treasury hingga ke level pra pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19) membuat dolar AS menguat dan pelaku pasar cemas akan kemungkinan terjadinya taper tantrum. Tidak hanya pasar AS, tapi pasar global juga dibuat cemas.
Kenaikan yield Treasury terjadi akibat ekspektasi perekonomian AS akan segera pulih, dan inflasi akan meningkat. Saat inflasi meningkat, maka berinvestasi di Treasury menjadi tidak menguntungkan, sebab yield-nya lebih rendah. Alhasil pelaku pasar melepas kepemilikan Treasury, dan yield-nya menjadi naik.
Kenaikan yield akibat ekspektasi pemulihan ekonomi dan kenaikan inflasi tersebut juga membuat pelaku pasar melihat bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) kemungkinan mengurangi nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) atau yang dikenal dengan istilah tapering.
Saat tapering terjadi indeks dolar AS menguat tajam, sehingga disebut taper tantrum. Tidak hanya itu, pasar finansial global juga mengalami gejolak, bursa saham mengalami kemerosotan.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Pola Shooting Star Berpotensi Membuat Rupiah Perkasa
