Wadidaw! Rupiah Makin Lemah, Sudah Rp 14.400/US$

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
09 March 2021 09:15
8 Risiko Pemukul Rupiah
CNBC Indonesia/Aristya Rahadian Krisabella

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah di perdagangan pasar spot pagi ini. Pemulihan ekonomi yang terus terlihat di Negeri Paman Sam membuat aset-aset berbasis rupiah kekurangan peminat.

Pada Selasa (9/3/2021), US$ 1 setara dengan Rp 14.380 kala pembukaan perdagangan pasar spot. Rupiah melemah 0,21% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.

Seiring perjalanan pasar, rupiah makin melemah. Pada pukul 09:04 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.400 di mana rupiah melemah 0,35%.

Kemarin, rupiah menutup perdagangan pasar spot dengan depresiasi 0,42% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Rupiah sudah berada di atas Rp 14.300/US$.

Mata uang Tanah Air belum bisa lepas dari tren depresiasi. Dalam sebulan terakhir, rupiah sudah melemah 2,54% di hadapan dolar AS. Sementara sejak akhir 2020, pelemahan rupiah adalah 2,21%.

Tahun lalu, banyak kalangan memperkirakan dolar AS bakal 'tertindas' pada 2021. Mata uang Negeri Paman Sam akan ditinggalkan seiring tren suku bunga rendah yang membuat aset-aset berbasis dolar AS (terutama instrumen berpendapatan tetap) menjadi kurang menarik.

Namun sejauh ini yang terjadi malah sebaliknya. Dolar AS begitu perkasa sehingga mata uang dunia yang takluk di hadapannya.

Selama sebulan terakhir, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 1,4%. Sejak akhir 2020, penguatan indeks ini mencapai 2,64%.

Halaman Selanjutnya --> Ekonomi AS Bangkit, Dolar Terungkit

Setelah habis-habisan dihajar oleh pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19), ekonomi Negeri Adidaya pulih dengan relatif cepat. Berbagai data memberi konfirmasi akan hal tersebut.

Terbaru adalah data perdagangan internasional. US Census Bureau melaporkan, nilai impor AS pada Januari 2021 adalah US$ 191,9 miliar, tertinggi sejak Februari 2020. Pembukaan kembali aktivitas masyarakat (reopening) membuat proses produksi berangsur pulih sehingga output industri AS meningkat pesat dan mampu memenuhi permintaan dunia.

Sementara impor tercatat US$ 260,2 miliar, juga tertinggi sejak Februari 2020. Menariknya, peningkatan impor didorong oleh barang konsumsi dan kendaraan bermotor. Artinya permintaan domestik AS semakin membaik, daya beli rakyat mulai pulih.

Geliat ekonomi ini pada saatnya nanti tentu akan menciptakan tekanan inflasi. Jika laju inflasi mulai terakselerasi, bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) tentu tidak akan tinggal diam. The Fed akan mencoba meredam inflasi dengan mengetatkan kebijakan moneter, misalnya dengan menaikkan suku bunga acuan.

"Kalau kemudian suku bunga betul-betul naik karena optimisme terhadap prospek pertumbuhan ekonomi, maka itu sebenarnya hal yang positif," ujar Tom Hainlin, Global Investment Strategist di Ascent Private Wealth Group yang berbasis di Minneapolis (AS), seperti dikutip dari Reuters.

Ekspektasi Federal Funds Rate bisa naik lebih cepat dari perkiraan (tidak 2023) ini yang membuat investor berkerumun di pasar keuangan AS, utamanya obligasi pemerintah. Ini membuat pasar keuangan Asia kekurangan pengunjung sehingga mata uang Benua Kuning bergerak melemah, tidak terkecuali rupiah.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(aji/aji) Next Article Sedang Tak Berharga, Dolar Makin Banyak 'Dibuang'

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular