
Makin Melorot, Rupiah Kini di Atas Rp 14.300/US$!

Ekonomi Negeri Paman Sam yang semakin pulih membuat dolar AS menguat. Akhir pekan lalu, US Bureau of Labor Statistics melaporkan data ketenagakerjaan AS yang positif.
Sepanjang Februari 2021, perekonomian AS menciptakan 379.000 lapangan kerja, jauh di atas konsensus pasar yang dihimpun Reuters dengan perkiraan 182.000 dan realisasi Januari 2021 yang sebesar 166.000.
Dengan lapangan kerja yang terus bertambah, tingkat pengangguran di AS pun berkurang. Pada Februari 2021, tingkat pengangguran AS tercatat 6,2%, terendah sejak April 2020.
Ditambah lagi ada kabar baik dari rencana stimulus fiskal senilai US$ 1,9 triliun (sekira Rp 27.304,9 triliun) yang diajukan pemerintahan Presiden Joseph 'Joe' Biden. Senat telah menyetujui paket tersebut dan rencananya akan dikembalikan ke House of Representatives pada Rabu pekan ini. Jika gol, maka Undang-undang (UU) stimulus tinggal diteken oleh Biden dan siap untuk digulirkan.
"Bantuan Langsung Tunai (BLT) akan mulai mendatangi rakyat bulan ini. Mereka sangat butuh bantuan," tegas Biden, sebagaimana diwartakan Reuters. BLT itu akan bernilai US$ 1.400 (Rp 20,12 juta) plus tunjangan pengangguran US$ 300 (Rp 4,31 juta).
Stimulus, plus ekonomi yang memang berangsur pulih, akan mendorong permintaan domestik di Negeri Adidaya. Ini akan menyebabkan tekanan inflasi sehingga bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) kemungkinan mulai bereaksi dengan mengurangi 'dosis' pelonggaran moneter.
Oleh karena itu, pasar mulai berani bertaruh bahwa The Fed bakal menaikkan suku bunga acuan lebih cepat dari perkiraan. Dalam dotplot terakhir The Fed, kemungkinan suku bunga acuan baru naik pada 2023. Namun dengan ekonomi yang semakin membaik, dan kemungkinan tekanan inflasi akan datang lebih cepat, bukan tidak mungkin kenaikan Federal Funds Rate akan dipercepat.
Mengutip CME FedWatch, kemungkinan The Fed mempertahankan suku bunga acuan di 0-0,25% pada akhir 2021 adalah 96%. Masih sangat tinggi, tetapi lebih rendah dibandingkan posisi sepekan lalu yaitu 97,9%. Peluang kenaikan Federal Funds Rate mulai terbuka, meski belum lebar.
"Seiring dengan aktivitas masyarakat yang kembali dibuka, ekonomi bergerak signifikan dan data ketenagakerjaan memperkuat keyakinan itu. Ini memberi tekanan kepada The Fed untuk mempercepat kenaikan suku bunga acuan,"kata Justin Hoogendoorn, Managing Director di Piper Sandler Financial Strategies yang berbasis di Chicago, seperti diwartakan Reuters.
Ekspektasi akan kenaikan suku bunga acuan menjadi 'doping' buat dolar AS. Kenaikan suku bunga acuan akan ikut mendongrak imbalan investasi aset berbasis dolar AS, utamanya instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi.
Dolar AS pun kembali 'seksi' dan menjadi primadona di pasar. Akibatnya, mata uang negara-negara lain ditinggalkan, termasuk rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
