Rupiah Hari Ini Jeblok Parah, tapi Ada Kabar Bagus Juga Nih

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
26 February 2021 16:12
Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah jeblok 1,14% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.240/US$ pada perdagangan hari ini, Jumat (26/2/2021). Level tersebut merupakan yang terlemah di tahun ini. Naiknya yield obligasi (Treasury) AS menjadi penekan utama rupiah.

Kamis kemarin, yield Treasury naik 12,6 basis poin ke 1,515%, bahkan sebelumnya sempat menyentuh 1,614%, tertinggi sejak Februari tahun lalu, atau sebelum virus corona dinyatakan sebagai pandemi, dan sebelum bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) membabat habis suku bunganya menjadi 0,25%.

Kenaikan tersebut berisiko memicu capital outflow dari pasar obligasi Indonesia, sebab selisih yield dengan Surat Berharga Negara (SBN) menjadi menyempit. Ketika terjadi capital outflow, maka nilai tukar rupiah akan tertekan.

Meski demikian, terselip kabar gembira. Minat pelaku pasar terhadap rupiah semakin membaik, hal tersebut tercermin dari survei 2 mingguan yang dilakukan Reuters.

Survei tersebut menggunakan skala -3 sampai 3, angka negatif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) mata uang Asia dan jual (short) dolar AS. Semakin mendekati -3 artinya posisi long yang diambil semakin besar.

Sementara angka positif berarti short mata uang Asia dan long dolar AS, dan semakin mendekati angka 3, semakin besar posisi short mata uang Asia.

Hasil survei terbaru yang dirilis hari ini, Kamis (27/2/2021), menunjukkan posisi long pelaku pasar terhadap rupiah meningkat dibandingkan survei sebelumnya.

Nilai posisi long untuk rupiah saat ini -0,51%, naik dari hasil survei sebelumnya -0,36%, dan menjadi kenaikan pertama setelah menurun dalam 5 survei beruntun.

Berkaca dari survei sepanjang tahun lalu, yang konsisten dengan pergerakan rupiah, maka peluang rupiah untuk kembali menguat terbuka cukup lebar.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Kebijakan The Fed dan Stimulus Fiskal Tekan Dolar AS

Membaiknya minat investor terhadap rupiah tak lepas dari dolar AS yang berisiko tertekan hingga 2 tahun ke depan. The Fed yang menegaskan belum akan merubah kebijakan moneternya dalam waktu dekat memberikan tekanan bagi dolar AS.

The Fed saat ini menerapkan kebijakan suku bunga rendah 0,25%, dan masih akan dipertahankan hingga 2 tahun ke depan. Hal tersebut tercermin dari data dari Fed Dot Plot, yang menggambarkan proyeksi suku bunga para pembuat kebijakan (Federal Open Market Committee), menunjukkan suku bunga baru akan dinaikkan pada tahun 2023.

Selain itu, ada juga kebijakan pembelian aset atau yang dikenal dengan istilah quantitative easing (QE) nilainya mencapai US$ 120 miliar per bulan.

Sejak pandemi Covid-19 melanda, The Fed sudah mengucurkan QE sekitar 3,3 triliun. Hal tersebut tercermin dari nilai balance sheet The Fed yang kini mencapai US$ 7,56 triliun, dibandingkan posisi awal Maret 2020 lalu US$ 4,24 triliun.

Kebijakan tersebut terbilang sangat agresif, sebab saat krisis finansial melanda AS di tahun 2008 The Fed juga melakukan hal yang sama. Nilai Balance Sheet juga melonjak US$ 3 triliun, tetapi terjadi dalam tempo 3 tahun hingga 2011.

Semakin besar QE yang digelontorkan maka balance sheet The Fed akan membengkak.

Powell menegaskan The Fed berkomitmen untuk menggunakan instrumen moneter secara penuh untuk mendukung perekonomian, serta membantu memastikan pemulihan ekonomi hingga sekuat mungkin.

"Perekonomian AS masih jauh dari target inflasi dan pasar tenaga kerja kami, dan kemungkinan memerlukan waktu cukup lama untuk mendapatkan kemajuan yang substansial," kata Powell dalam testimoninya di hadapan Komite Perbankan Senat sebagaimana dilansir CNBC International, Selasa (24/2/2021).

Sejak akhir tahun lalu, The pendekatannya terhadap inflasi. Sebelumnya, The Fed menetapkan target inflasi 2%, ketika inflasi mendekati target The Fed biasanya akan mengetatkan moneter. Kini bank sentral paling powerful di dunia ini menetapkan target inflasi rata-rata 2%. Yang digarisbawahi adalah kata "rata-rata".

"Kami jujur saja bahwa tantangan masih berat. Kami tidak akan menaikkan suku bunga acuan sampai ada tanda-tanda inflasi menuju target 2%. Kita bisa mencapai itu, kita akan menuju ke sana. Namun mungkin butuh waktu lebih dari tiga tahun," ungkap Powell saat memberikan testimoni hadapan Komite Jasa Keuangan House of Representative (DPR), sebagaimana dikutip dari Reuters, Rabu (25/2/2021).

Pernyataan Powell tersebut menegaskan era suku bunga rendah masih akan berlangsung dalam waktu yang cukup lama, begitu juga QE belum akan dikurangi. Alhasil dolar AS masih akan tertekan.

Selain itu pemerintah AS juga berencana menggelontorkan stimulus fiskal senilai US$ 1,9 triliun.

Ketika itu terjadi, jumlah uang tunai yang beredar akan semakin bertambah, secara teori dolar AS akan melemah.

Stimulus senilai US$ 1,9 triliun akan menjadi yang terbesar kedua sepanjang sejarah AS, setelah US$ 2 triliun yang digelontorkan pada bulan Maret 2020 lalu.

House of Representative (DPR) AS akan melakukan voting terhadap proposal stimulus senilai US$ 1,9 triliun tersebut di pekan ini. Jika berhasil disetujui, maka proposal tersebut selanjutnya akan diserahkan ke Senat.

Stimulus tersebut diharapkan bisa cair sebelum pertengahan Maret, dimana stimulus fiskal yang ada saat ini akan berakhir.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular