Ah Lega...Angin Segar di Benua Asia, Mayoritas Bursanya Hijau

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
22 February 2021 08:39
Passersby are reflected on an electronic board showing the exchange rates between the Japanese yen and the U.S. dollar, the yen against the euro, the yen against the Australian dollar, Dow Jones Industrial Average and other market indices outside a brokerage in Tokyo, Japan, August 6, 2019.   REUTERS/Issei Kato
Foto: Bursa Tokyo (REUTERS/Issei Kato)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa saham Asia dibuka cerah bergairah pada Senin (22/2/2021) awal pekan ini, setelah bank sentral China mempertahankan suku bunga pinjamannya pada Sabtu (20/2/2021) lalu.

Tercatat indeks Nikkei Jepang dibuka melesat 0,85%, Hang Seng Hong Kong melonjak 1,39%, Shanghai Composite China naik 0,3%, Straits Times Index (STI) menguat 0,23%, dan KOSPI Korea Selatan tumbuh 0,54%.

Pada Sabtu (20/2/2021) lalu, People Bank of China (PBoC) memutuskan untuk tetap mempertahankan suku bunga pinjaman berjangka 1 tahun di angka 3,85%.

Hal ini sejalan dengan konsensus dari Reuters yang memperkirakan PBoC akan tetap mempertahankan suku bunga acuannya di level 3,85%.

Sedangkan untuk suku bunga pinjaman berjangka 5 tahun, bank sentral Negeri Tirai Bambu tersebut juga mempertahankannya di level 4,65%.

Beralih ke Amerika Serikat (AS), Surat utang pemerintah AS bertenor 10 tahun mengalami kenaikan yield sebesar 12% minggu lalu. Kenaikan yield menjadi ancaman bagi aset-aset berisiko seperti saham. Apalagi saat ini valuasi saham-saham sudah tergolong 'mahal'.

Nilai rasio harga saham terhadap laba atau sering dikenal sebagai forward price to earnings (PER) indeks S&P 500 sudah mencapai 22,2x. Jauh di atas 15,3x rata-rata jangka panjangnya membuat pelaku pasar was-was.

Kenaikan suku bunga di saat valuasi saham yang sedang tinggi-tingginya akan berpotensi menekan harga aset berisiko tersebut. Pasalnya ketika suku bunga rendah, biaya pinjaman serta bunga bagi perusahaan menjadi lebih murah. Valuasi saham menjadi lebih atraktif.

Kenaikan imbal hasil instrumen pendapatan tetap di AS tersebut membuat Wall Street ambles. Indeks S&P 500 terkoreksi 0,71% sepanjang minggu lalu. Namun aset berisiko lain seperti Bitcoin masih mengalami kenaikan. Bahkan nilai kapitalisasi pasar aset digital berupa mata uang kripto tersebut sampai tembus US$ 1 triliun.

Kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS tak terlepas dari prospek perekonomian Paman Sam yang lebih cerah ditopang dengan likuiditas berlimpah dari bank sentral serta perkembangan positif stimulus fiskal senilai US$ 1,9 triliun di bawah kepemimpinan Joe Biden.

Perekonomian yang membaik membuat ekspektasi kenaikan harga (inflasi) meningkat. Ketika ada harapan inflasi naik, maka imbal hasil obligasi juga akan ikut terkerek naik.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bursa Asia Mayoritas Dibuka Hijau, KOSPI Memimpin!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular