
Tahun Lalu Dibuang, Lira Turki Kini Jadi Raja Mata Uang!

Jakarta, CNBC Indonesia - Ibarat roda yang selalu berputar, kadang di atas kadang di bawah, hal itu yang dialami mata uang lira Turki. Pada tahun lalu, lira mengalami aksi jual masif, bahkan warga Turki sendiri "membuang" lira dan memilih menginvestasikan dananya di emas.
Alhasil, kurs lira sempat jeblok hingga ke 8,5789/US$ pada 6 November 2020, yang merupakan rekor terendah sepanjang sejarah. Sepanjang tahun 2020 hingga ke level terlemah tersebut lira jeblok lebih dari 44%.
Sejak mencapai level terlemah tersebut, lira perlahan pulih. Memasuki tahun 2021, kinerjanya semakin membaik, hingga akhirnya menjadi raja mata uang dunia, dalam konteks kinerjanya melawan dolar AS.
Melansir data Refinitiv, kemarin lira berada di level 6,9687/US$ yang merupakan level terkuat sejak 5 Agustus 2020. Sejak akhir 2020 hingga kemarin atau secara year-to-date, lira berhasil mencatat penguatan 6,6% melawan dolar AS. persentase tersebut menjadi yang terbesar dibandingkan mata uang lainnya, baik itu mata uang emerging market hingga negara maju, artinya lira menjadi mata uang terbaik dunia saat ini.
![]() |
Di urutan kedua ada mata uang hryvnia Ukraina, tetapi penguatannya hanya 1,9% melawan dolar AS. Sangat jauh ketimbang penguatan lira. Melengkapi tiga besar ada poundsterling yang menguat 1,3% melawan dolar AS.
Lantas, apa yang menyebabkan lira begitu perkasa?
Jawabannya adalah suku bunga. Jebloknya lira pada tahun lalu terjadi akibat suku bunga yang lebih rendah dari inflasi.
Sejak Januari 2020, atau sebelum pandemi Covid-19 melanda dunia, suku bunga acuan bank sentral Turki (TCMB) sudah negatif jika disesuaikan dengan inflasi. Melansir data Refinitiv, pada bulan Januari suku bunga acuan one-week repo rate TCMB sebesar 11,25%, sementara inflasi sebesar 12,15% year-on-year (YoY). Sejak saat itu one-week repo rate TCMB selalu di bawah inflasi.
Wajar saja, suku bunga acuan tersebut terus diturunkan hingga mencapai 8,25% pada bulan Mei lalu, sementara inflasi berada di kisaran 12%.
Pada Juli 2019, Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan memecat Gubernur TCMB Murat Cetinkaya dan menggantinya dengan Murat Uysal. Sejak saat itu suku bunga terus dipangkas dari 24% hingga menjadi 8,25%.
Suku bunga yang lebih rendah dari inflasi tentunya membuat kurs lira tak menarik, dan dilepas oleh investor. Akibatnya, nilainya semakin merosot, dan tingkat kepercayaan terhadap lira oleh warga Turki sendiri semakin menurun.
Pada bulan November 2020 lalu, Presiden Erdogan memecat Murat Uysal, dan menggatinya dengan Naci Agbal, mantan menteri keuangan Turki. Sejak saat itu, suku bunga terus dinaikkan hingga saat ini berada di level 17%. Sehingga suku bunga kini sudah lebih tinggi dari inflasi yang sebesar 14,97% di bulan Januari lalu.
Pada tahun lalu, Turki menguras lebih dari US$ 100 miliar cadangan devisa guna meredam kemerosotan liar. Gubernur Agbal memberikan indikasi akan kembali mengumpulkan cadangan devisa, dengan mempertahankan kebijakan moneter yang ketat. Artinya, suku bunga akan tetap tinggi.
Alhasil, kurs lira terus menguat hingga saat ini.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> CDS Turki Turun, Perekonomian Juga Bangkit
Sejak Gubernur TCMB diganti dan terus menaikkan suku bunga, kepercayaan pelaku pasar terhadap lira kembali pulih yang sejalan dengan menurunnya premi risiko utang yang dicerminkan oleh credit default swap (CDS) Turki. Semakin tinggi CDS, maka risiko gagal bayar semakin tinggi.
CDS adalah kontrak derivatif swap di mana pembeli melakukan pembayaran ke penjual atas penutupan risiko gagal bayar (default) debiturnya. Artinya, dia mendapatkan pembayaran bila terjadi gagal bayar atau kejadian lain yang mengancam pembayaran kredit yang ada.
Dalam praktiknya, CDS bisa menjadi patokan persepsi risiko berinvestasi.
CDS Turki tenor 5 tahun saat ini berada di kiasan 290 basis poin (bps), terendah Februari 2020, dan turun jauh dari level tertinggi tahun lalu di atas 640 bps.
Selain itu, perekonomian Turki juga perlahan mulai pulih. IHS Markit melaporkan purchasing managers' indeks (PMI) manufaktur melesat menjadi 54,4 di bulan Januari dari bulan Desember 50,8.
PMI manufaktur menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di atasnya berarti ekspansi, sementara di bawahnya kontraksi.
Ekspansi sektor manufaktur Turki yang semakin terakselerasi tentunya menjadi kabar bagus, apalagi terjadi saat suku bunga dinaikkan. Artinya, dengan suku bunga tinggi, perekonomian Turki masih bisa berputar kencang. Tren tersebut berkebalikan dengan negara-negara lain, AS misalnya yang memerlukan suku bunga rendah guna memutar roda bisnisnya.
Bank investasi JP Morgan bahkan menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Turki tahun ini menjadi 4,6% dari prediksi sebelumnya 3,3%.
Dinaikkannya suku bunga mampu memulihkan kepercayaan pelaku pasar terhadap lira, ditambah dengan perekonomian yang bangkit tentunya membuat lira kembali diburu.
Bank investasi lainnya, Morgan Stanley melihat peningkatan kredibilitas kebijakan ekonomi Turki membuat lira akan unggul dibandingkan mata uang emerging market lainnya. Morgan Stanley memprediksi lira bisa mencapai level 6,8/US$.
Senada dengan Morgan Stanley, ahli strategi mata uang di Rabobank, Piotr Matys, juga memprediksi lira ke 6,8/US$.
Sementara analis dari Societe Generale dan HSBC memprediksi lira bisa mencapai 6,5/US$ di akhir tahun ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Parah! Erdogan Disebut "Idiot" oleh Investor