Emas Sedang Melempem, Investor Konservatif Lari ke Mana Nih?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
11 February 2021 17:39
Emas Batangan dan Koin dalam brankas Pro Aurum di Munich, Jerman pada 14 Agustus 2019. (REUTERS/Michael Dalder)
Foto: Emas Batangan dan Koin dalam brankas Pro Aurum di Munich, Jerman pada 14 Agustus 2019. (REUTERS/Michael Dalder)

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga emas dunia sedang menguat dalam 4 hari terakhir, sebab indeks dolar Amerika Serikat (AS) sedang dalam tekanan. Keniakan harga emas dunia tersebut turut mengerek naik harga logam mulia di dalam negeri.

Namun jika dilihat sejak awal tahun, harga emas sebenarnya masih menurun. Melansir data Refinitiv, harga emas dunia sepanjang tahun ini hingga Kamis (10/2/2021) kemarin membukukan pelemahan 2,9%. Sementara emas batangan produksi PT Aneka Tambang Tbk. atau uang dikenal dengan emas Antam melemah 2,07% dibandingkan posisi akhir tahun lalu.

Emas sebenarnya menjadi aset yang digadang-gadang akan bersinar di tahun ini. Sebab, faktor-faktor yang mendukung emas untuk melesat masih ada.

Bank sentral AS (The Fed) menegaskan masih akan mempertahankan kebijakan moneter longgar. Suku bunga masih tetap rendah <0,25% dan akan dipertahankan hingga tahun 2023, sementara program pembelian aset (quantitative easing/QE) senilai US$ 120 miliar per bulan masih belum akan dikurangi.

Kemudian, Pemerintah AS di bawah komando Presiden Joseph 'Joe' Biden, akan menggelontorkan stimulus fiskal senilai US$ 1,9 triliun, dan kemungkinan besar akan cair dalam beberapa pekan ke depan.

Stimulus moneter dan fiskal merupakan bahan bakar utama emas untuk menanjak. Di tahun lalu keduanya membuat emas dunia mencetak rekor tertinggi sepanjang masa US$ 2.072,49/troy ons pada 7 Agustus 2020, dan emas Antam di Rp 1.065.000/batang di waktu yang sama.

Namun, pergerakan sejak awal tahun ini seperti menunjukkan emas kehabisan tenaga untuk menguat. Jika terus demikian, maka investasi di emas tentunya berisiko merugi. Sebab, emas merupakan aset tanpa imbal hasil, cuan hanya didapat dari kenaikan selisih harga beli dan harga jual. Jika membeli emas di akhir tahun lalu, hingga saat ini tentunya masih merugi.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Emas Digerogoti Bitcoin, Cocok Untuk Investor Konservatif?

Salah satu faktor yang membuat emas melempem yakni Bitcoin yang nilainya terus meroket, dan disebut sebagai emas digital.

Analis pasar senior di OANDA, Edward Moya, mengatakan ada aliran modal yang cukup besar berpindah dari emas ke bitcoin.

"Ada perubahan besar untuk sebagian investor. Status safe haven emas mulai digerogoti oleh mata uang kripto, khususnya bitcoin. Ketika anda melihat posisi emas, anda melihat diversifikasi dari emas menuju mata uang kripto," kata Moya.

Bank investasi ternama JP Morgan juga menyatakan hal yang sama.

"Kompetisi antara bitcoin dan emas sudah dimulai dalam pandangan kami," kata ahli strategi JP Morgan dalam sebuah catatan, sebagaimana dikutip Reuters, Selasa (5/1/2020).
Ahli strategi tersebut melihat belakangan ini terjadi outflow dari pasar emas sekitar US$ 7 miliar dan terjadi inflow lebih dari US$ 3 miliar di Grayscale Bitcoin Trust.

Namun, bagi investor konservatif yang berinvestasi di emas jangan buru-buru beralih ke bitcoin meski disebut-sebut sebagai emas digital. Pasalnya, volatilitas bitcoin sangat tinggi. Artinya, harganya meroket tinggi, tetapi juga bisa terjun bebas dalam waktu singkat.

Tentunya hal tersebut kurang masuk dalam kriteria aset safe haven seperti yang disandang emas.

Saat harga emas sedang melempem, investasi di obligasi pemerintah bisa menjadi pilihan. Sebab, selain memberikan imbal hasil (yield), obligasi pemerintah juga termasuk aset yang aman. Yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun misalnya, saat ini masih di atas 6%, relatif tinggi dibandingkan dengan obligasi negara-negara emerging market lainnya.

SBN juga masih menarik di mata investor asing, berdasarkan data dari Direktorat Jendral Pembiayaan Pengelolaan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, pada 9 Februari lalu, kepemilikan SBN oleh investor asing sebesar Rp 996,91 triliun, naik Rp 23 triliun dibandingkan posisi akhir tahun 2020.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular