
Berhari-hari Tekoreksi, Tiba-tiba Saham BUMI Melesat 12,5%

Jakarta, CNBC Indonesia- Setelah sempat merah selama selama berhari-hari, akhirnya saham emiten batu bara PT Bumi Resources Tbk (BUMI) melesat 12,5% pada perdagangan Jumat (05/2/2021). Saham BUMI ditutup di posisi Rp 63/saham, atau naik 7 poin dibandingkan kemarin Rp 56/saham.
Pada Senin (18/01/2021) saham BUMI ditutup di level Rp 103/saham, namun setelah itu emiten batu bara ini terus merah hingga akhirnya ditutup hijau pada hari ini. Berdasarkan RTI saham BUMI sepanjang hari ini diperdagangkan di level Rp 55 sampai Rp 65/saham. Sebanyak 2,18 miliar saham diperdagangkan dengan nilai Rp 132,84 miliar.
Investor domestik masih mendominasi aksi jual beli dari saham emiten batu bara ini. Tercatat aksi beli investor domestik 49,2% dengan 2,1 miliar saham senilai Rp 130,8 miliar. Sementara aksi jual investor domestik 42,19% dengan 1,8 miliar saham senilai Rp 112,2 miliar.
Untuk investor asing, terlihat lebih banyak aksi jual dibandingkan aksi beli. Tercatat aksi jual 7,81% untuk 331,8 juta saham senilai Rp 20,8 miliar. Kemudian aksi beli hanya 0,8% sebanyak 35,2 juta saham senilai Rp 2,1 miliar.
Sejak awal perdagangan harga saham emiten batu bara mulai bergeliat pada awal perdagangan sesi pertama Jumat (5/2/2021). Menggeliatnya harga saham batu bara dipicu kenaikan harga batu bara acuan (HBA) domestik.
Melesatnya saham batu bara diakibatkan oleh melonjaknya harga batu bara acuan (HBA) pada Februari 2021, yakni melonjak ke posisi US$ 87,79 per ton atau naik 15,75% dari posisi harga januari 2021 yang sebesar US$ 75,84 per ton.
Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi mengatakan, kenaikan ini dipicu sentimen yang dibentuk oleh super siklus komoditas.
"Adanya sentimen commodity supercycle, antara lain kenaikan harga gas ikut memperkuat harga batu bara," papar Agung, seperti dikutip dari keterangan resmi Kementerian, Kamis (04/02/2021).
Agung menyebut sinyal supercycle ini diyakini bakal terjadi di tahun ini pada berbagai komoditas, terutama komoditas pertambangan. Salah satu pemicunya berasal dari suku bunga acuan yang rendah, dolar AS yang lemah, pertumbuhan ekonomi, serta pembangunan infrastruktur di berbagai negara.
Lebih lanjut dia menyampaikan, selain dari faktor supercycle, melonjaknya permintaan impor batu bara dari China juga turut mendorong HBA. Harga batu bara kembali pulih dan berangsur naik dalam empat bulan terakhir setelah sebelumnya mengalami tekanan akibat pandemi virus corona.
"Suplai batu bara domestik (China) tidak dapat memenuhi kebutuhan batu bara pembangkit listriknya," ungkapnya.
(dob/dob)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Video: Private Placement Lagi, Utang BUMI Lunas?