Ngeri, Rupiah Sudah di Atas Rp 14.100/US$ di Kurs Tengah BI!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
28 January 2021 10:20
dolar-Rupiah
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Mata uang Tanah Air juga terkapar di perdagangan pasar spot.

Pada Kamis (28/1/2021), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.119. Rupiah melemah 0.19% dibandingkan posisi hari sebelumnya.

Rupiah juga lesu di pasar spot. Pada pukul 10:00 WIB,US$ 1 dihargai Rp 14.070 di mana rupiah melemah 0,25%.

Kala pembukaan pasar spot, rupiah sudah melemah tetapi tipis saja di 0,04%. Seiring perjalanan, depresiasi rupiah semakin dalam.

Namun rupiah tidak sendiri, hampir seluruh mata uang utama Asia menyerah di hadapan dolar AS. Sejauh ini hanya ringgit Malaysia yang masih bisa menguat.

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 10:04 WIB:

Arus modal di pasar keuangan Asia memang sedang seret. Indeks saham utama Asia berguguran, tidak terkecuali Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).

Berikut perkembangan indeks utama Asia pada pukul 09:34 WIB:

Tidak hanya di pasar saham, pasar obligasi pemerintah pun mengalami tekanan jual. Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Indonesia cenderung naik pagi ini. Kenaikan yield menandakan harga Surat Berharga Negara (SBN) sedang turun karena dilepas investor.

Berikut perkembangan yield SBN berbagai tenor pada pukul 09:37 WIB:

Sepertinya pasar pasar keuangan Asia tertular koreksi di Wall Street. Dini hari tadi waktu Indonesia, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) anjlok 2,05%. Sementara S&P 500 dan Nasdaq Composite ambrol masing-masing 2,57% dan 2,61%.

Koreksi di Wall Street semakin menjadi kala bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) mengumumkan hasil rapat bulanan. Ketua Jerome 'Jay' Powell mempertahankan suku banga acuan di 0-0,25%.

The Fed juga berkomitmen tetap menjalankan program pembelian obligasi (quantitative easing) sampai ekonomi dan pasar tenaga kerja betul-betul pulih dari dampak pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Saat ini, The Fed memborong obligasi pemerintah AS setidaknya US$ 80 miliar per bulan plus aset beragun kredit properti (mortgage-based securities) US$ 40 miliar.

Hasil rapat ini adalah keputusan yang sudah diperkirakan oleh investor. Pelaku pasar 'meramal' The Fed tidak akan memberi kejutan, dan itulah yang terjadi.

So, mengapa kemudian pasar bereaksi negatif?

"Pandemi semakin mengkhawatirkan sementara proses vaksinasi berjalan lambat sehingga ekonomi AS bakal kehilangan momentum pada kuartal I-2021. Lagi-lagi stimulus fiskal yang akan mengambil peran utama sementara The Fed sepertinya tidak akan melakukan upaya baru dalam waktu dekat," tegas Seema Shah, Chief Strategist di Principal Global Investors yang berbasis di London (Inggris), seperti dikutip dari Reuters.

Well, sepertinya alasan itu cuma pembenaran. Kemungkinan pelaku pasar hanya ingin mencairkan cuan yang sudah didapat di bursa saham Negeri Adikuasa. Sejak akhir 2020, DJIA menguat 1,08% sementara Nasdaq melejit 3,03%.

Apapun alasannya, koreksi dalam di Wall Street sudah sukses membuat investor pasar keuangan Asia berkeringat dingin. 'Demam' di Wall Street menular ke Benua Kuning, investor ogah bermain di aset-aset berisiko dan memburu aset-aset aman (safe haven assets).

Salah satu aset aman yang menjadi incaran adalah dolar AS. Pada pukul 08:27 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,04%. Pantas saja rupiah tidak berkutik.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular