ANTM Dkk Ambruk Lagi, Saham Nikel Gabung ARB Club

Putra, CNBC Indonesia
27 January 2021 10:17
Bursa Efek Indonesia
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga saham-saham yang bergerak di sektor produksi nikel kembali terkoreksi parah pada perdagangan hari ini di tengah ambruknya indeks acuan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang terkoreksi 0,97%.

Saham emiten nikel sebelumnya sempat melesat karena sentimen super cycle komoditas yaitu nantinya harga komoditas nikel diprediksi akan tembus US$ 20.000/ton.

Simak kinerja saham-saham nikel yang melantai di bursa pada hari ini.

Terpantau pada perdagangan hari ini harga saham-saham produsen nikel semuanya terpaksa diperdagangkan di zona merah bahkan berberapa diantaranya anjlok menyentuh level terendah yang diijinkan oleh regulator alias ARB.

Koreksi saham emiten yang memproduksi komoditas nikel jatuh kepada PT Pelat Timah Nusantara Tbk (NIKL) yang ambruk6,88% ke level ARBnya di harga Rp 1.285/unit.

Sedangkan posisi kedua diduduki oleh PTCentral Omega Resources Tbk (DKFT) yang terkoreksi 6,79% ke level harga Rp 151/unit.

Selanjutnya emiten tambang yang akhir-akhir ini sedang ramai diperdagangkan yakni PT Aneka Tambang Tbl (ANTM) juga ambruk4,87% ke level harga Rp 2.700/unit.

Sedangkan koreksi paling moderat hari ini dibukukan oleh PT Vale Indonesia Tbk (INCO) yang turun3,25% ke level harga Rp 5.950/unit.

Nikel sendiri merupakan salah satu logam hasil tambang yang digunakan untuk berbagai keperluan. Di pasar dikenal ada dua jenis nikel yaitu nikel kelas I dan kelas II. Nikel kelas II banyak digunakan untuk pembuatan stainless steel, sementara kelas I digunakan untuk produk lain seperti komponen baterai mobil listrik.

Sentimen makin maraknya penggunaan mobil listrik dan tren penjualan mobil listrik yang meningkat membuat harga nikel mengalami kenaikan yang pesat. Outlook harga nikel untuk tahun 2021 pun positif.

DBS dalam laporannya menyebut harga nikel tahun ini bakalbullishdan tembus ke atas US$ 20.000/ton. Hal tersebut karena ditopang oleh adanya defisit pasokan nikel di saat permintaan sedang naik-naiknya. Tren ini terutama terjadi untuk nikel kelas I yang banyak digunakan untuk baterai mobil listrik.

Proyeksi DBS, permintaan nikel kelas I akan tumbuh 5,9% setiap tahunnya sampai 2025. Untuk periode yang sama pasokan nikel kelas I hanya tumbuh 3,3%.

Sementara itu, untuk nikel Kelas II keseimbangan di pasar tetap terjaga tahun ini, bahkan hingga 2025 seiring dengan kuatnya peningkatan kapasitas nikel pig iron (NPI) di Indonesia mengimbangi penurunan produksi Cina dan pertumbuhan permintaan nikel untuk stainless steel.

Lebih lanjut DBS memprediksi volume penjualan mobil listrik akan naik 24% per tahun secara compounding (CAGR) ke 22,3 juta unit pada tahun 2030. Kenaikan penjualan mobil listrik tentu akan mengerek permintaan nikel kelas I seiring dengan minat yang tinggi untuk penggunaan baterai yang menggunakan nikel.

Permintaan nikel untuk baterai mobil listrik akan tumbuh sebesar 32% (CAGR) pada 2019-2030 sehingga meningkatkan konsumsi nikel untuk baterai yang dapat diisi ulang hingga 24% per tahun menjadi 1,27 juta ton pada tahun 2030.

"Oleh karena itu, kami memperkirakan kontribusi baterai isi ulang terhadap konsumsi nikel akan meningkat hingga 30% pada 2030 dari hanya 5% pada 2019." tulis DBS dalam laporannya.


(trp/trp)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jokowi Disuntik Vaksin Corona, Bursa RI Siap-siap ke 6.500

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular