Rupiah Sudah Dekati Rp 14.000/US$, BI Kekeuh Masih Kemurahan!

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
26 January 2021 13:43
Ilustrasi Dollar Rupiah
Foto: Muhammad Luthfi Rahman

Perbaikan sentimen global dan domestik juga membuat volatilitas rupiah mengalami penurunan. Premi risiko yang tercermin dari Credit Default Swap (CDS) liman tahun RI juga terus berangsur menurun. Dengan imbal hasil yang masih menarik dan risk premium yang menurun tentu ini menjadi katalis bagi pasar keuangan domestik.

BI menyebut hingga 20 Januari 2020, volatilitas nilai tukar rupiah tercatat sebesar 10,0%, lebih rendah dibandingkan dengan volatilitas nilai tukar rupiah pada tahun 2020 sebesar 15,9%. 

Ada beberapa penopang penguatan rupiah lain. Pertama tentu inflasi. BI adalah salah satu bank sentral yang menganut rezim kebijakan moneter yang menyasar inflasi (Inflation Targeting Framework/ITF). 

Untuk tahun 2020 sasaran inflasi yang dipatok BI adalah 3% plus minus 1. Namun kenyaatannya inflasi hanya mencapai 1,68% tahun lalu. Inflasi merupakan salah satu fenomena ekonomi riil yang ditandai dengan kenaikan harga-harga barang dan jasa.

Ekonom lebih suka menyebut inflasi sebagai fenomena penurunan nilai (devaluasi) mata uang atau anjloknya tenaga beli (purchasing power) suatu nilai tukar terhadap barang. 

Dalam pandangan kaum monetarist pasokan uang yang berlimpah akan memicu terjadinya inflasi. Selain pasokan uang, kecepatan uang berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain (velocity) juga ikut berpengaruh. 

Injeksi likuiditas oleh BI lewat penurunan suku bunga acuan dan QE serta pemberian stimulus sebesar 4,4% PDB oleh otoritas fiskal nasional membuat pasokan uang beredar menjadi lebih banyak. Namun pasokan barang yang memadai dan daya beli yang cenderung masih lemah membuat inflasi tetap rendah. 

Di sisi lain kecepatan uang berpindah tangan juga relatif melambat. Di saat Covid-19 pelaku ekonomi mulai dari korporasi hingga konsumen cenderung menahan diri untuk ekspansi dan belanja. Lembaga keuangan seperti bank juga mengerem penyaluran kreditnya alhasil pertumbuhan kredit melambat dan dana pihak ketiga meningkat.

Dua faktor inilah yang memicu mengapa inflasi masih rendah dan bisa menjadi salah satu penopang bagi penguatan rupiah.

Selain inflasi, surplus neraca dagang juga jadi pendukung fundamental rupiah. Pada 2020 neraca dagang RI surplus lebih dari US$ 27 miliar. Padahal di tahun sebelumnya mengalami defisit sebesar US$ 3,59 miliar.

Adanya surplus neraca dagang membuat defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) juga menciut, dari minus 2,7% PDB menjadi kurang lebih minus 0,5% PDB di tahun lalu.

Aliran modal asing yang masuk juga membuat neraca pembayaran Indonesia mengalami perbaikan. Ekspor komoditas berupa batu bara dan minyak nabati yang moncer terutama ke China dibarengi dengan tren kenaikan harganya serta penerbitan obligasi global oleh pemerintah juga membuat cadangan devisa meningkat.

Per Desember 2020, cadangan devisa RI tercatat mencapai US$ 135,9 miliar. Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 10,2 bulan impor atau 9,8 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.

Kecukupan cadangan devisa ini membuat ketahanan eksternal tetap terjaga. Amunisi BI untuk stabilitas nilai tukar juga mengalami peningkatan. Di sisi lain The Fed juga tetap akan mempertahankan kebijakan moneter ultra longgar.

Dalam konferensi pers terakhirnya, bos The Fed Jerome Powell sekali lagi menegaskan tak akan menaikkan suku bunga acuan sampai 2023. The Fed juga masih akan menginjeksi likuiditas ke sistem keuangan lewat QE senilai US$ 120 miliar per bulannya.

Hal ini akan membuat tren pelemahan dolar AS akan berlanjut. ING Bank memperkirakan dolar AS masih berpeluang melemah 5-10% tahun ini. Meski BI tak menyebut berapa valuasi wajar rupiah, bank investasi global JP Morgan menilai rupiah bisa menguat ke Rp 13.500/US$ untuk tahun ini. 

TIM RISET CNBC INDONESIA

(twg/twg)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular