Rupiah Sudah Dekati Rp 14.000/US$, BI Kekeuh Masih Kemurahan!

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
26 January 2021 13:43
Ilustrasi Dollar Rupiah
Foto: Muhammad Luthfi Rahman

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah sudah semakin mendekati level Rp 14.000/US$ belakangan ini. Meski mengalami apresiasi di hadapan greenback di awal tahun 2021, Bank Indonesia masih menilai rupiah 'kemurahan' alias undervalued.

Di pasar spot untuk US$ 1 sudah dibanderol di Rp 14.030/US$. Sementara berdasarkan kurs acuan BI yaitu Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) rupiah dipatok di Rp 14.086/US$ per 26 Januari 2021.

Rupiah terus mengalami penguatan yang tajam sejak awal November tahun lalu. Kala itu rupiah masih di atas Rp 14.500/US$. Namun rupiah mengalami penguatan yang signifikan hingga mendekati level psikologisnya di Rp 14.000/US$.

Bahkan di awal Januari 2021, rupiah sempat menguat ke Rp 13.885/US$ di pasar spot. Atau hampir mendekati level awal tahun 2019.

Apresiasi rupiah ini dilandasi oleh beberapa faktor. Pertama tentu terkait sentimen global dan domestik yang membaik, terutama akibat dimulainya program vaksinasi Covid-19 secara masal di banyak negara seperti AS, Inggris, Eropa bahkan Asia termasuk Indonesia.

Dengan adanya vaksinasi diharapkan ekonomi yang sekarat bisa mulai pulih. Bank Dunia dalam laporan terbarunya memproyeksikan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) RI untuk tahun ini berada di angka 4,4%.

Kendati BI memangkas suku bunga acuan (BI-7 Day Reverse Repo Rate) secara agresif sebesar 125 basis poin (bps) sepanjang tahun 2020 dan untuk pertama kalinya dalam sejarah independensi bank sentral RI melakukan kebijakan quantitative easing (QE), rupiah tetap lanjut menguat. 

Maklum, Federal Reserves (The Fed) sebagai bank sentral paling berpengaruh di dunia lebih agresif lagi dalam memangkas suku bunga acuannya. Fed Fund Rates dibabat habis oleh otoritas moneter Paman Sam ke level zero lower bound.

The Fed juga kembali melakukan kebijakan cetak uang (QE) seperti yang dilakukan saat krisis keuangan global tahun 2008. Saat itu The Fed butuh waktu lebih dari 3 tahun untuk menginjeksi likuiditas melalui QE dengan nilai US$ 3 triliun.

Kali ini, saat pandemi Covid-19 merebak dan membuat perekonomian global jatuh ke dalam resesi terparah sejak The Great Depression 1929, The Fed mencetak lebih dari US$ 3 triliun hanya dalam kurun waktu kurang dari 1 tahun.

Kebijakan moneter ultra longgar yang dibarengi dengan kebijakan fiskal ekspansif di AS melalui stimulus lebih dari US$ 2,3 triliun (10% PDB) di era Trump membuat dolar AS melemah. Di sepanjang tahun 2020 indeks dolar yang mengukur keperkasaan greenback drop hampir 7%. 

Imbal hasil aset keuangan berisiko rendah berupa surat utang pemerintah AS anjlok signifikan. Yield nominalnya kini berada di angka 1%. Namun secara riil setelah dikurangi inflasi 1,2% maka imbal hasil sebenarnya minus 0,2%.

Pelaku pasar dan investor pun beralih ke aset-aset berisiko seperti saham hingga cryptocurrency yang memberikan cuan lebih tebal dan membuat kedua aset keuangan ini harganya pecah rekor sampai ke level tertinggi sepanjang sejarah (all time high).

Investor juga melirik aset-aset keuangan di negara berkembang yang memberikan imbal hasil menarik. Tak terkecuali di Tanah Air. Imbal hasil nominal SBN tenor 10 tahun masih di angka 6%.

Apabila dikurangi inflasi 1,6% maka imbal hasil riilnya masih 4,4%. Ada selisih (spread) 4,6 poin persentase dengan imbal hasil riil obligasi pemerintah AS. Hal ini memicu aliran modal asing masuk ke Indonesia baik ke pasar obligasi maupun pasar ekuitas.

Apalagi jika melihat nilai kapitalisasi pasar saham-saham Indonesia yang cenderung modestly undervalued sekitar 40% dari PDB dibanding valuasi pasar saham AS yang sudah ketinggian hampir 200% dari PDB-nya.

Dalam Tinjauan Kebijakan Moneter terbaru, BI mencatat di kuartal IV tahun lalu ada aliran modal asing ke pasar keuangan RI mencapai US$ 2,1 miliar. Ada pembalikan arah menjadi inflow dari outflow di kuartal ketiga sebesar US$ 1,7 miliar di kuartal ketiga. Jelas ini mendongkrak penguatan nilai tukar rupiah.

Perbaikan sentimen global dan domestik juga membuat volatilitas rupiah mengalami penurunan. Premi risiko yang tercermin dari Credit Default Swap (CDS) liman tahun RI juga terus berangsur menurun. Dengan imbal hasil yang masih menarik dan risk premium yang menurun tentu ini menjadi katalis bagi pasar keuangan domestik.

BI menyebut hingga 20 Januari 2020, volatilitas nilai tukar rupiah tercatat sebesar 10,0%, lebih rendah dibandingkan dengan volatilitas nilai tukar rupiah pada tahun 2020 sebesar 15,9%. 

Ada beberapa penopang penguatan rupiah lain. Pertama tentu inflasi. BI adalah salah satu bank sentral yang menganut rezim kebijakan moneter yang menyasar inflasi (Inflation Targeting Framework/ITF). 

Untuk tahun 2020 sasaran inflasi yang dipatok BI adalah 3% plus minus 1. Namun kenyaatannya inflasi hanya mencapai 1,68% tahun lalu. Inflasi merupakan salah satu fenomena ekonomi riil yang ditandai dengan kenaikan harga-harga barang dan jasa.

Ekonom lebih suka menyebut inflasi sebagai fenomena penurunan nilai (devaluasi) mata uang atau anjloknya tenaga beli (purchasing power) suatu nilai tukar terhadap barang. 

Dalam pandangan kaum monetarist pasokan uang yang berlimpah akan memicu terjadinya inflasi. Selain pasokan uang, kecepatan uang berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain (velocity) juga ikut berpengaruh. 

Injeksi likuiditas oleh BI lewat penurunan suku bunga acuan dan QE serta pemberian stimulus sebesar 4,4% PDB oleh otoritas fiskal nasional membuat pasokan uang beredar menjadi lebih banyak. Namun pasokan barang yang memadai dan daya beli yang cenderung masih lemah membuat inflasi tetap rendah. 

Di sisi lain kecepatan uang berpindah tangan juga relatif melambat. Di saat Covid-19 pelaku ekonomi mulai dari korporasi hingga konsumen cenderung menahan diri untuk ekspansi dan belanja. Lembaga keuangan seperti bank juga mengerem penyaluran kreditnya alhasil pertumbuhan kredit melambat dan dana pihak ketiga meningkat.

Dua faktor inilah yang memicu mengapa inflasi masih rendah dan bisa menjadi salah satu penopang bagi penguatan rupiah.

Selain inflasi, surplus neraca dagang juga jadi pendukung fundamental rupiah. Pada 2020 neraca dagang RI surplus lebih dari US$ 27 miliar. Padahal di tahun sebelumnya mengalami defisit sebesar US$ 3,59 miliar.

Adanya surplus neraca dagang membuat defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) juga menciut, dari minus 2,7% PDB menjadi kurang lebih minus 0,5% PDB di tahun lalu.

Aliran modal asing yang masuk juga membuat neraca pembayaran Indonesia mengalami perbaikan. Ekspor komoditas berupa batu bara dan minyak nabati yang moncer terutama ke China dibarengi dengan tren kenaikan harganya serta penerbitan obligasi global oleh pemerintah juga membuat cadangan devisa meningkat.

Per Desember 2020, cadangan devisa RI tercatat mencapai US$ 135,9 miliar. Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 10,2 bulan impor atau 9,8 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.

Kecukupan cadangan devisa ini membuat ketahanan eksternal tetap terjaga. Amunisi BI untuk stabilitas nilai tukar juga mengalami peningkatan. Di sisi lain The Fed juga tetap akan mempertahankan kebijakan moneter ultra longgar.

Dalam konferensi pers terakhirnya, bos The Fed Jerome Powell sekali lagi menegaskan tak akan menaikkan suku bunga acuan sampai 2023. The Fed juga masih akan menginjeksi likuiditas ke sistem keuangan lewat QE senilai US$ 120 miliar per bulannya.

Hal ini akan membuat tren pelemahan dolar AS akan berlanjut. ING Bank memperkirakan dolar AS masih berpeluang melemah 5-10% tahun ini. Meski BI tak menyebut berapa valuasi wajar rupiah, bank investasi global JP Morgan menilai rupiah bisa menguat ke Rp 13.500/US$ untuk tahun ini. 

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular