
Hati-hati Tunggu The Fed, Rupiah Sulit Tembus Rp 14.000/US$

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah menguat tipis 0,07% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.010/US$ Senin kemarin (25/1), setelah stagnan nyaris sepanjang perdagangan.
Pergerakan tersebut mengindikasikan kehati-hatian pelaku pasar, sebab di pekan ini ada bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang akan mengumumkan kebijakan moneter.
Pengumuman tersebut sangat dinanti pelaku pasar, sebab saat ini beredar "bisik-bisik" di pasar jika di akhir tahun ini ada kemungkinan The Fed akan mengurangi nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) yang saat ini nilainya sekitar US$ 120 miliar per bulan.
Pengurangan tersebut dikenal dengan istilah tapering. Sebelum saat ini, pada pertengahan tahun 2013 lalu, The Fed yang saat itu dipimpin Ben Bernanke juga mengeluarkan wacana tapering.
Saat wacana tersebut muncul dolar AS menjadi begitu perkasa, hingga ada istilah "taper tantrum". Maklum saja, sejak diterapkan suku bunga rendah serta QE, nilai tukar dolar AS terus merosot. Sehingga saat muncul wacana pengurangan QE hingga akhirnya dihentikan dolar AS langsung mengamuk, "taper tantrum", rupiah pun jeblok.
Berkaca dari kejadian 2013 tersebut, pelaku pasar menjadi lebih berhati-hati jelang pengumuman kebijakan moneter The Fed pada Kamis dini hari waktu Indonesia.
Secara teknikal, rupiah yang disimbolkan USD/IDR masih tertahan di atas Rp 14.000/US$ meski sempat dijebol pada Kamis (21/1/2021). Sehari sebelumnya, rupiah membentuk pola Black Maubozu.
Rupiah kemarin membuka perdagangan di level Rp 14.050/US$, dan mengakhiri perdagangan di Rp 14.020/US$, atau menguat 0,21%. Level terlemah rupiah sama dengan level pembukaan, sementara level terkuat sama dengan level penutupan, sehingga secara teknikal masih mengukir pola Black Marubozu.
Black Marubozu kerap dijadikan sinyal harga suatu instrumen akan menurun lebih lanjut. Dalam hal ini, nilai tukar dolar AS melemah melawan rupiah.
Rupiah juga bergerak di bawah rerata pergerakan (moving average/MA) 50 hari atau MA 50 (garis hijau). Sehingga ruang penguatan terbuka cukup besar.
Pada November 2020 lalu terjadi death cross alias perpotongan MA 50 hari, MA 100 hari (MA 100), dan 200 hari (MA 200). Death cross terjadi dimana MA 50 memotong dari atas ke bawah MA 100 dan 200.
![]() Foto: Refinitiv |
Death cross menjadi sinyal suatu aset akan berlanjut turun. Dalam hal ini USD/IDR, artinya rupiah berpotensi menguat lebih jauh.
Sementara itu, indikator stochastic bergerak mendatar dan cukup jauh dari wilayah jenuh jual (oversold) atau pun jenuh beli (overbought)
Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah overbought (di atas 80) atau oversold (di bawah 20), maka suatu harga suatu instrumen berpeluang berbalik arah.
Support terdekat masih di level psikologis Rp 14.000/US$, selama tertahan di atasnya rupiah berisiko melemah ke Rp 14.050/US$, sebelum menuju Rp 14.080 sampai 14.100/US$ yang merupakan resisten terdekat di pekan ini.
Sementara jika level psikologis ditembus, rupiah menguat ke Rp 13.970/US$. Kemampuan melewati level tersebut akan membawa rupiah menguat ke Rp Rp 13.940 hingga Rp 13.900/US$.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sedang Tak Berharga, Dolar Makin Banyak 'Dibuang'
