
Emas Meroket atau Ambruk Pekan Ini? Tunggu "Sinyal" The Fed

Jakarta, CNBCÂ Indonesia -Â Harga emas dunia menguat di awal perdagangan Senin (25/1/2021), tetapi di sesi Eropa berbalik melemah. Pergerakan tersebut mengindikasikan emas sedang "galau", sebab ada bank sentral Amerika Serikat (AS) atau Federal Reserve (The Fed) akan mengumumkan kebijakan moneter di pekan ini.
Melansir data Refinitiv, emas menguat 0,37% pagi tadi, dan berbalik melemah 0,09% ke US$ 1.850/troy ons pada pukul 16:26 WIB.
Pada pekan lalu emas melesat 1,42% setelah Joseph 'Joe' Biden, resmi dilantik menjadi Presiden Amerika Serikat (AS) ke-46 pada Rabu (20/1/2021) waktu setempat, menggantikan Donald Trump yang kalah pada pemilihan umum November 2020 lalu.
Di hari itu juga harga emas dunia melesat 1,72% ke US$ 1.870,9/troy ons. Sayangnya, pada hari Kamis dan Jumat pekan lalu, emas justru mengalami koreksi akibat penguatan dolar AS.
Selain pelantikan Biden, Senat AS yang sebelumnya dikuasai oleh Partai Republik, kini dikuasai oleh Partai Demokrat. Sehingga blue wave atau kemenangan penuh Partai Demokrat berhasil dicapai.
Parlemen AS menganut sistem 2 kamar, House of Representative (DPR) yang sudah dikuasai Partai Demokrat sejak lama, dan Senat yang pada rezim Donald Trump dikuasai Partai Republik.
Dengan dikuasainya DPR dan Senat, tentunya akan memudahkan dalam mengambil kebijakan, termasuk dalam meloloskan paket stimulus fiskal US$ 1,9 triliun.
Alhasil, emas langsung melesat begitu Biden dilantik, sebab stimulus fiskal merupakan bahan bakar untuk menguat. Di bulan Maret 2020 lalu, pemerintah AS, saat itu di bawah komando Presiden Trump, menggelontorkan stimulus fiskal senilai US$ 2 triliun, emas yang sebelumnya mengalami aksi juga mulai meroket hingga menyentuh rekor tertinggi sepanjang masa US$ 2.072,49 pada 7 Agustus 2020.
Para analis dan investor ritel melihat stimulus fiskal yang akan digelontorkan di era Joe Biden juga akan membuat emas melesat. Hal tersebut terlihat dari survei mingguan yang dilakukan Kitco.
Survei yang dilakukan terhadap 15 analis di Wall Street, menunjukkan 60% memberikan proyeksi bullish (tren naik) di pekan ini, sementara yang memprediksi harga emas akan turun (bearish) sebanyak 20%, dan yang memberikan outlook netral sebanyak 20%.
Sementara itu survei yang dilakukan terhadap investor ritel atau yang disebut Main Street, dengan jumlah partisipan sebanyak 1.581 orang, menunjukkan 67% memberikan proyeksi bullish, 17% bearish, dan 15% netral.
Dengan demikian analis dan investor ritel kompak "memborong" emas dengan mayoritas memprediksi harganya akan kembali menguat di pekan ini.
Selain stimulus fiskal, stimulus moneter yang longgar juga menjadi pemicu penguatan harga emas. Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) menjadi salah satu bank sentral yang paling jor-joran. The Fed memangkas suku bunga hingga menjadi <0,25%, dan menambah stimulus moneter dengan program pembelian aset (quantitative easing/QE) senilai US$ 120 miliar per bulan.
Pengumuman tersebut sangat dinanti pelaku pasar, sebab saat ini bereda "bisik-bisik" di pasar jika di akhir tahun ini ada kemungkinan The Fed akan mengurangi nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) yang saat ini nilainya sekitar US$ 120 miliar per bulan.
Pengurangan tersebut dikenal dengan istilah tapering. Sebelum saat ini, pada pertengahan tahun 2013 lalu, The Fed yang saat itu dipimpin Ben Bernanke juga mengeluarkan wacana tapering.
Saat wacana tersebut muncul dolar AS menjadi begitu perkasa, hingga ada istilah "taper tantrum". Maklum saja, sejak diterapkan suku bunga rendah serta QE, nilai tukar dolar AS terus merosot. Sehingga saat muncul wacana pengurangan QE hingga akhirnya dihentikan dolar AS langsung mengamuk, "taper tantrum" yang membuat harga emas rontok kala itu.
Dengan demikian, arah pergerakan emas di pekan ini baru akan terlihat setelah The Fed mengumumkan kebijakan moneter Kamis dini hari waktu Indonesia.