Rupiah Tak Lagi Lemah, Tapi Nggak Kuat Juga Sih

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
25 January 2021 10:17
Dollar AS - Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Setidaknya rupiah belum merah di perdagangan pasar spot.

Pada Senin (25/1/2021), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.082. Rupiah melemah 0,19% dibandingkan posisi akhir pekan lalu.

Mata uang Tanah Air pun lesu di 'arena' pasar spot. Pada pukul 10:00 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.020. Sama persis dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu atau stagnan.

Kala pembukaan pasar spot, rupiah sudah stagnan. Beberapa menit kemudian mata uang Ibu Pertiwi sempat melemah tipis 0,07%, tetapi kemudian stagnan lagi.

Tidak cuma rupiah, sejumlah mata uang utama Asia pun kewalahan meladeni dolar AS. Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning di perdagangan pasar spot pada pukul 10:04 WIB:

Investor sepertinya tengah menjaga jarak dengan pasar keuangan Asia. Bursa saham Asia berjatuhan, bahkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat ambles lebih dari 2%.

Berikut perkembangan indek saham utama Asia pada pukul 09:44 WIB:

Kemungkinan pelaku pasar sedang memasang mode risk-on (menjauhi risiko). Ini terlihat dari penguatan aset-aset aman (safe haven) seperti emas dan dolar AS.

Pada pukul 09:24 WIB, harga emas di pasar spot naik 0,16% ke US$ 1.855,65. Sementara Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,01%.

Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) yang semakin membabi-buta membuat investor (dan seluruh dunia) cemas. Di Eropa, virus yang awalnya mewabah di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini kian merajalela sehingga memaksa pemerintah membatasi aktivitas dan mobilitas masyarakat.

Meski pengetatan pembatasan sosial (social distancing) di Benua Biru cukup efektif dalam menekan kurva kasus corona, tetapi harus dibayar dengan harga yang amat mahal. Di Jerman, pembacaan awal Purchacing Managers' Index (PMI) sektor jasa periode Januari 20201 berada di 46,8. Lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 47.

PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Kalau di bawah 50, artinya dunia usaha masih dalam fase kontraksi, tidak ada ekspansi.

"Secara umum, ekonomi Jerman memulai 2021 dengan lambat. Perpanjangan pengetatan social distancing sampai setidaknya pertengahan Februari berarti aktivitas ekonomi masih akan lambat dalam beberapa pekan ke depan," sebut Phil Smith, Associate Director IHS Markit, seperti dikutip dari keterangan tertulis.

Sementara di Inggris, penjualan ritel pada Desember 2020 memang tumbuh 0,3% dibandingkan bulan sebelumnya. Namun jauh di bawah konsensus yang dihimpun Reuters dengan perkiraan 1,2%.

Sepanjang 2020, penjualan ritel di Negeri Big Ben tumbuh -1,9%. Ini adalah catatan terburuk sejak data penjualan ritel dirilis pada 1996.

"Dengan tidak adanya kejelasan kapan lockdown (karantina wilayah) akan berakhir, peritel akan kesulitan untuk bertahan hidup," tegas Helen Dickinson, Chief Executive British Retail Consortium, sebagaimana diberitakan Reuters.

Padahal 2021 digadang-gadang sebagai tahun kebangkitan setelah 2020 yang penuh derita. Namun sejauh ini, awal 2021 terlihat masih suram, belum banyak berubah ketimbang 2020.

Perkembangan ini membuat investor mulai ragu, apakah betul kehidupan bisa lebih baik pada 2021? Keraguan itu membuat investor memilih bermain aman dan mendekat ke safe haven assets. Instrumen berisiko ditinggalkan dulu untuk sementara waktu, sehingga membuat mata uang Asia melemah. Tidak terkecuali rupiah.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular