Jakarta, CNBC Indonesia - Harga kontrak futures (berjangka) batu bara ICE Newcastle perlahan-lahan mulai menguat lagi. Pasca harga anjlok dari US$ 90/ton ke US$ 84,55/ton kini harga si batu legam sudah mulai menyentuh level US$ 85/ton.
Pada perdagangan kemarin (21/1/2021) harga kontrak batu bara yang aktif diperjualbelikan tersebut menguat 0,53% ke level US$ 85,3/ton. Dalam sepekan harga batu bara memang masih terkoreksi 4,96%.
Masih ada katalis positif yang berpotensi mengerek ke atas harga batu bara. Harga gas yang sudah terlampau tinggi akan membuat banyak pembangkit listrik mulai beralih ke batu bara. Ketatnya pasokan domestik China akan membuat Negeri Panda semakin melonggarkan kebijakan impornya.
China banyak mengimpor batu bara dari Australia dan Indonesia. Namun karena hubungan bilateral Negeri Kanguru dan Negeri Panda sedang retak, Beijing lebih memilih memboikot produk batu bara Australia dan beralih ke Indonesia.
China tidak mengizinkan kargo batu bara dari Australia melewati bea cukai pada bulan Desember. Pengiriman batu bara termal (bahan bakar di pembangkit listrik), dan batu bara metalurgi untuk pembuatan baja dari Australia jatuh ke nol pada bulan Desember.
Namun tetap saja, kenaikan harga batu bara China yang signifikan membuat harga batu bara Australia yang jadi acuan global juga ikut terkerek naik. Bayangkan saja selisih (spread) harga batu bara domestik China Qinhuangdao dengan batu bara Newcastle sempat mencapai US$ 70/ton. Itu baru selisihnya saja.
Artinya konsumen batu bara yang terdiri dari perusahaan utilitas dan sektor manufaktur terutama untuk baja akan lebih diuntungkan dengan mengimpor batu bara yang harganya lebih murah.
Secara tren historis, harga batu bara akan cenderung menguat tajam pada periode pemulihan ekonomi pasca krisis. Adanya sentimen commodity supercycle pasca Covid-19 juga menjadi katalis positif bagi komoditas ini.
Bagaimanapun juga harga batu bara sudah pulih dari Covid-19. Outlook untuk 2020 juga lebih cerah. Badan Energi Internasional (IEA) memperkirakan konsumsi batu bara global bakal tumbuh 2,6% tahun ini dibanding tahun lalu. Hanya saja konsumsinya bakal lebih rendah dari tahun 2019.
Saat Covid-19 konsumsi batu bara global drop. Akibatnya perdagangan si batu legam juga mengalami kontraksi. Reuters melaporkan perdagangan batu bara lintas laut global turun hampir 11% tahun lalu. Impor dan ekspor di seluruh dunia turun menjadi 1,098 miliar ton dari 1,233 miliar pada 2019.
Terpilihnya Joseph 'Joe' Biden sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) menggantikan Donald Trump membuat masa depan batu bara dinilai semakin suram. Dalam masa kampanye, Biden konsisten mengedepankan program pengurangan penggunaan energi fosil yang tidak ramah lingkungan, tentunya termasuk batu bara.
Sebelumnya, Trump menyatakan AS mundur dari Kesepakatan Paris tetapi sepertinya Biden akan menarik keputusan itu. Ya, ada kemungkinan AS akan kembali ke Kesepakatan Paris.
Dalam Kesepakatan Paris tentang Perubahan Iklim, ada target untuk menurunkan suhu bumi 2 derajat celcius pada 2030 dan 1,5 derajat celsius lagi pada 2050. Artinya, segala betuk aktivitas yang menyebabkan bumi semakin panas harus dibatasi, termasuk penggunaan batu bara sebagai sumber energi.
Namun apakah batu bara akan serta merta disingkirkan begitu saja? Jawabannya tidak semudah itu ferguso! John Kemp seorang kolumnis Reuters memiliki pandangan yang menarik.
Dalam tulisannya, Ia menegaskan bahwa kebijakan energi AS lebih dipengaruhi oleh harga dan teknologi ketimbang kebijakan sang Presiden. Secara historis kebijakan pemerintah masih mampu mempengaruhi level mikro yaitu pasokan dan permintaan. Namun sulit untuk mempengaruhi level makro pada sistem yang digunakan.
Kemp menggunakan istilah yang menarik yaitu inersia (kemalasan) untuk menjelaskan mengapa harga dan teknologi lebih berpengaruh pada sistem bauran energi yang digunakan di AS.
Menurut data Administrasi Informasi Energi AS (EIA), di antara tahun 1973 dan 2019, pangsa konsumsi energi primer total yang dipasok oleh bahan bakar fosil turun dari 92% menjadi 80%. Sisanya, konsumsi energi berasal dari pembangkit listrik tenaga air, tenaga nuklir, dan baru-baru ini pembangkit tenaga angin dan surya
Pangsa nuklir terus meningkat dari 1% pada tahun 1973 menjadi hampir 9% pada tahun 2009 tetapi sejak itu terhenti. Baru-baru ini, energi terbarukan, termasuk angin, matahari, dan biofuel, telah meningkat dari hanya 3% pada tahun 2000 menjadi lebih dari 8% pada 2019.
Namun perubahan ini sebagian besar didorong oleh harga dan teknologi daripada kebijakan presiden, dan perubahan telah terjadi di banyak pemerintahan. Keengganan sistem membuahkan hasil yang mengejutkan.
Kemp berkesimpulan bahwa kebijakan presiden tidak selalu berhasil dalam membuat perubahan sistem yang mereka rencanakan.
Pemerintahan Obama, yang tidak dikenal ramah terhadap produksi bahan bakar fosil justru harus berhadapan dengan peningkatan pangsa energi yang dipasok oleh gas.
Pengeboran horizontal dan teknologi rekahan hidraulik telah matang di bawah kepemimpinan Bill Clinton, kemudian harga gas yang tinggi di bawah pemerintahan George W. Bush mendorong penerapannya secara luas, menghasilkan perluasan produksi yang besar yang sebagian besar terjadi di bawah pemerintahan Barack Obama dan Donald Trump.
Pemerintahan GW Bush, yang lebih bersahabat dengan bahan bakar fosil, bertepatan dengan penurunan pangsa energi yang dipasok oleh minyak, sebagian besar sebagai akibat dari lonjakan harga yang sangat besar antara tahun 2004 dan 2008.
Namun, harga yang lebih tinggi pada akhirnya mempercepat penerapan teknik pengeboran ke sektor minyak sehingga berakibat pada peningkatan produksi minyak bumi di bawah Obama dan Trump.
Sementara Trump, yang berjanji untuk memulihkan kejayaan batu bara, malah harus berhadapan dengan penurunan struktural jangka panjang yang berkelanjutan di sektor tambang batu bara serta peningkatan lebih lanjut dalam pangsa penggunaan energi berbasis angin dan matahari.
Faktor-faktor inilah yang pada akhirnya membuat rencana ambisius kebijakan bauran energi AS yang diwacanakan oleh sang Presiden menjadi susah tercapai.
TIM RISET CNBC INDONESIA