Kedodoran di Awal Tahun, Ini 3 "Musuh" Emas di 2021

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
19 January 2021 17:41
Emas Batangan dan Koin dalam brankas Pro Aurum di Munich, Jerman pada 14 Agustus 2019. (REUTERS/Michael Dalder)
Foto: Emas Batangan dan Koin dalam brankas Pro Aurum di Munich, Jerman pada 14 Agustus 2019. (REUTERS/Michael Dalder)

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga emas dunia kedodoran di awal 2021, Senin (18/1/2021) kemarin bahkan nyaris menembus ke bawah US$ 1.800/troy ons, terendah dalam 1,5 bulan terakhir. Emas menghadapi 3 "musuh" di awal tahun ini yang membuat nilainya merosot, dan kemungkinan masih akan "dilawan" sepanjang tahun ini.

Melansir data Refinitiv, kemarin emas sempat merosot 0,91% ke US$ 1.809,9/troy ons, level terendah sejak 2 Desember lalu, sebelum berbalik menguat 0,56% ke US$ 1.836,89/troy ons. Pada perdagangan hari ini, Selasa (19/1/2021) pada pukul 16:49 WIB emas kembali menguat 0,33% ke US$ 1.842,1/troy ons.

Sepanjang Januari, emas masih turun 2,83%.

"Musuh" pertama emas adalah bursa saham global yang masih menunjukkan tren penguatan. Kiblat bursa saham dunia, Wall Street, dua pekan lalu bahkan mencetak rekor tertinggi sepanjang masa.

Perekonomian global yang diprediksi akan membaik di tahun ini setelah mengalami resesi di tahun 2020 akibat pandemi penyakit virus corona (Covid-19) menjadi pemicu penguatan bursa saham. Selain itu, vaksinasi massal juga sudah dimulai di beberapa negara.

Dana moneter international (International Monetary Fund/IMF) pada bulan Oktober tahun lalu memberikan proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun 2021 sebesar 5,2% setelah mengalami kontraksi (tumbuh negatif) 4,4% di 2020.

IMF akan memberikan proyeksi terbarunya pada 26 Januari mendatang.

Saham dan emas merupakan aset yang berlawanan, yang satu aset berisiko dengan imbal hasil tinggi, satunya lagi aset aman (safe haven) tanpa imbal hasil. Ketika perekonomian global membaik, maka pelaku pasar cenderung memburu aset-aset berisiko dan aset safe haven menjadi tidak menarik.

Alhasil, ketika bursa saham menguat maka emas akan melemah. Namun itu dalam jangka pendek, jika dilihat dalam jangka panjang bursa saham dan emas merupakan "teman" keduanya bergerak searah. Lihat saja pada tahun lalu, emas meroket, begitu juga dengan indeks S&P 500 di Wall Street. 

Begitu juga pasca krisis finansial 2008, dalam jangka panjang emas dan Wall Street bergerak searah naik, hanya dalam jangka pendek keduanya sering kali "musuhan".

Bitcoin menjadi "musuh" kedua emas di tahun ini. Digadang-gadang sebagai emas digital harga bitcoin terus meroket. Analis pasar senior di OANDA, Edward Moya, mengatakan ada aliran modal yang cukup besar berpindah dari emas ke bitcoin.

"Ada perubahan besar untuk sebagian investor. Status safe haven emas mulai digerogoti oleh mata uang kripto, khususnya bitcoin. Ketika anda melihat posisi emas, anda melihat diversifikasi dari emas menuju mata uang kripto," kata Moya.

Bank investasi ternama JP Morgan juga menyatakan hal yang sama.

"Kompetisi antara bitcoin dan emas sudah dimulai dalam pandangan kami," kata ahli strategi JP Morgan dalam sebuah catatan, sebagaimana dikutip Reuters, Selasa (5/1/2020).
Ahli strategi tersebut melihat belakangan ini terjadi outflow dari pasar emas sekitar US$ 7 miliar dan terjadi inflow lebih dari US$ 3 miliar di Grayscale Bitcoin Trust.

Kemudian "musuh" yang ketiga dan yang paling utama bagi emas adalah dolar AS. Kebangkitan indeks dolar AS dari level terendah nyaris 3 tahun terakhir menjadi pemicu ambrolnya harga emas belakangan ini.

Dolar AS menjadi musuh utama sebab faktor-faktor yang membuat mata uang Paman Sam ini melemah menjadi bahan bakar utama bagi emas untuk menguat. Selain itu, emas dibanderol dolar AS, ketika dolar AS melemah maka harga emas menjadi lebih murah bagi pemegang mata uang lainnya, sehingga permintaan emas berpotensi meningkat.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Begini Prediksi Nasib Emas di 2021

Patut diingat, faktor-faktor yang membuat dolar AS jeblok hingga nyaris ke level terendah 3 tahun masih ada di tahun ini.

Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) masih mempertahankan program pembelian aset (quantitative easing/QE) senilai US$ 120 miliar per bulan, dan suku bunga 0,25% tidak akan dinaikkan hingga tahun 2023.

Kemudian, Presiden AS terpilih Joseph 'Joe' Biden dengan Partai Demokrat juga akan menambah stimulus fiskal senilai US$ 1,9 triliun, yang akan segera dicairkan setelah menjabat menjadi orang nomer 1 di Negeri Adikuasa.

Janet Yellen, mantan ketua bank sentral AS (The Fed) yang kini dinominasikan menjadi menteri keuangan AS pada hari ini akan berbicara ke hadapan Komite Keuangan Senat AS dan menegaskan pemerintah harus "melakukan langkah besar" pada paket stimulus fiskal selanjutnya.

"Presiden terpilih, maupun saya, mengusulkan paket stimulus tanpa meningkatkan beban utang negara. Tapi saat ini, dengan suku bunga terendah dalam sejarah, hal yang tepat yang kita harus kita lakukan adalah mengambil langkah besar," kata Yellen dalam pernyataan pembukaan yang akan disampaikan di hadapan komite finansial.

"Saya percaya, manfaat yang didapat (dari stimulus fiskal) akan lebih besar ketimbang biaya yang harus dikeluarkan, terutama membantu masyarakat yang sudah berjuang dalam waktu lama," isi pernyataan tersebut yang diperoleh Reuters Senin (18/1/2021).

Pada tahun lalu, stimulus fiskal senilai US$ 2 triliun digelontorkan pada bulan Maret menjadi salah satu pemicu kemerosotan dolar AS.

Kombinasi stimulus fiskal dan moneter membuat perekonomian AS banjir likuiditas, yang membuat nilai mata uangnya tertekan. Kedua stimulus tersebut merupakan bahan bakar utama emas untuk menanjak.

Selain itu, hasil survei terbaru Reuters pada 4 -7 Januari terhadap 70 ahli strategi mata uang, menunjukkan sebanyak 46% memprediksi dolar AS masih akan melemah dalam 1 sampai 2 tahun ke depan. Persentase tersebut naik ketimbang survei bulan Desember lalu sebesar 39%.

Sementara yang memprediksi the greenback akan melemah lebih dari 2 tahun sebesar 10%, sama dengan hasil survei bulan lalu.

Sedangkan yang memprediksi pelemahan dolar AS hanya akan berlangsung selama 3 bulan turun menjadi 14% dari sebelumnya 15%.

Artinya, "musuh" utama emas masih diprediksi melemah di tahun ini. Sehingga harga emas berpeluang akan melanjutkan penguatan.

Kitco melakukan survei di akhir tahun lalu, terhadap pelaku pasar maupun para analis. Hasilnya survei yang melibatkan 2.000 pelaku pasar, sebanyak 84% memprediksi harga emas akan kembali ke atas US$ 2.000/troy ons di akhir tahun ini. Yang paling banyak memprediksi emas berada di kisaran US$ 2.300/troy ons.

Hasil survei terhadap pelaku pasar tersebut sejalan dengan proyeksi analis yang disurvei Kitco. Analis dari Goldman Sachs, Commerzbank, dan CIBC memprediksi harga emas akan mencapai US$ 2.300/troy ons di tahun ini.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jangan Tunda, Yuk Mulai Investasi Emas

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular