
Sempat Berguguran! Saham ANTM, TINS Dkk Lelah Terbang Tinggi

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga saham-saham yang bergerak di sektor produksi nikel akhirnya terkoreksi parah pada perdagangan hari ini di tengah aksi ambil untung para investor setelah saham-saham ini melesat kencang sepekan terakhir.
Saham emiten nikel sendiri sebelumnya melesat karena sentimen super cycle komoditas dimana nantinya harga komoditas nikel diprediksi akan tembus US$ 20.000/ton.
Simak kinerja saham-saham nikel yang melantai di bursa pada hari ini.
Terpantau pada perdagangan hari ini harga saham-saham produsen nikel semuanya terpaksa diperdagangkan di zona merah dimana 6 emiten nikel seluruhnya terkoreksi.
Depresiasi saham emiten yang memproduksi komoditas nikel yang paling parah jatuh kepada PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang anjlok parah 4,81% ke level harga Rp 2.970/unit.
Sedangkan posisi kedua diduduki oleh PT Pelat Timah Nusantara Tbk (NIKL) yang terkoreksi4,71% ke level harga Rp 1.820/unit. Saham PT Timah Tbk (TINS) yang kemarin melesat kencang juga terpaksa anjlok 4,70% pada perdagangan hari ini.
Sedangkan koreksi paling moderat hari ini dibukukan oleh PT Central Omega Resources Tbk (DKFT) yang terdepresiasi 0,99% ke level harga Rp 200/unit.
Nikel sendiri merupakan salah satu logam hasil tambang yang digunakan untuk berbagai keperluan. Di pasar dikenal ada dua jenis nikel yaitu nikel kelas I dan kelas II. Nikel kelas II banyak digunakan untuk pembuatan stainless steel, sementara kelas I digunakan untuk produk lain seperti komponen baterai mobil listrik.
Sentimen makin maraknya penggunaan mobil listrik dan tren penjualan mobil listrik yang meningkat membuat harga nikel mengalami kenaikan yang pesat. Outlook harga nikel untuk tahun 2021 pun positif.
DBS dalam laporannya menyebut harga nikel tahun ini bakal bullish dan tembus ke atas US$ 20.000/ton. Hal tersebut karena ditopang oleh adanya defisit pasokan nikel di saat permintaan sedang naik-naiknya. Tren ini terutama terjadi untuk nikel kelas I yang banyak digunakan untuk baterai mobil listrik.
Proyeksi DBS, permintaan nikel kelas I akan tumbuh 5,9% setiap tahunnya sampai 2025. Untuk periode yang sama pasokan nikel kelas I hanya tumbuh 3,3%.
Sementara itu, untuk nikel Kelas II keseimbangan di pasar tetap terjaga tahun ini, bahkan hingga 2025 seiring dengan kuatnya peningkatan kapasitas nikel pig iron (NPI) di Indonesia mengimbangi penurunan produksi Cina dan pertumbuhan permintaan nikel untuk stainless steel.
Lebih lanjut DBS memprediksi volume penjualan mobil listrik akan naik 24% per tahun secara compounding(CAGR) ke 22,3 juta unit pada tahun 2030. Kenaikan penjualan mobil listrik tentu akan mengerek permintaan nikel kelas I seiring dengan minat yang tinggi untuk penggunaan baterai yang menggunakan nikel.
Permintaan nikel untuk baterai mobil listrik akan tumbuh sebesar 32% (CAGR) pada 2019-2030 sehingga meningkatkan konsumsi nikel untuk baterai yang dapat diisi ulang hingga 24% per tahun menjadi 1,27 juta ton pada tahun 2030.
"Oleh karena itu, kami memperkirakan kontribusi baterai isi ulang terhadap konsumsi nikel akan meningkat hingga 30% pada 2030 dari hanya 5% pada 2019." tulis DBS dalam laporannya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(trp/trp)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jokowi Disuntik Vaksin Corona, Bursa RI Siap-siap ke 6.500