Biden Siap Tebar Stimulus Jumbo, Harga Minyak Malah Ambles

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
18 January 2021 09:20
FILE PHOTO: Oil pours out of a spout from Edwin Drake's original 1859 well that launched the modern petroleum industry at the Drake Well Museum and Park in Titusville, Pennsylvania U.S., October 5, 2017. REUTERS/Brendan McDermid/File Photo
Foto: Ilustrasi: Minyak mengalir keluar dari semburan dari sumur 1859 asli Edwin Drake yang meluncurkan industri perminyakan modern di Museum dan Taman Drake Well di Titusville, Pennsylvania AS, 5 Oktober 2017. REUTERS / Brendan McDermid / File Foto

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak masih terus dibayangi oleh merebaknya pandemi Covid-19. Harga kontrak futures (berjangka) yang aktif ditransaksikan mengalami pelemahan di awal pekan ini, Senin (18/1/2021).

Pada 08.35 WIB, harga kontrak futures Brent turun 0,8% ke US$ 54,66/barel. Di saat yang sama harga kontrak futures West Texas Intermediate (WTI) ambles 0,74% ke US$ 51,97/barel.

Pekan lalu Presiden terpilih AS Joe Biden mengumumkan rencananya untuk menggelontorkan stimulus fiskal jumbo senilai US$ 1,9 triliun. Stimulus tersebut mencakup bantuan langsung tunai (BLT) sebesar US$ 1.400 untuk masyarakat AS. 

Adanya stimulus tersebut dan kebijakan fiskal ekspansif Joe Biden yang akan ditempuh melalui berbagai proyek pembangunan infrastruktur diharapkan dapat menggerakkan roda perekonomian.

Namun stimulus tersebut dinilai tak banyak mendukung pemulihan permintaan minyak lantaran banyak negara yang kembali menerapkan lockdown. Lonjakan kasus yang signifikan justru terjadi ketika harga minyak sedang berada di tren bullish-nya.

Kabar terbaru China kembali melaporkan lonjakan kasus infeksi harian tertinggi dalam sepuluh bulan terakhir pada Jumat akhir pekan lalu. Mau tak mau aktivitas harus direm dan pembatasan mulai diterapkan kembali.

China merupakan salah satu importir terbesar minyak di dunia. Ketika perekonomiannya berhasil lolos dari Covid-19 impor minyak mentah ke China berhasil naik 7,3% di tahun 2020. Namun kini prospek ekonomi China kembali suram dengan adanya lonjakan kasus tersebut. 

Padahal jika berharap pemulihan permintaan minyak, negara-negara kawasan Asia yang diharapkan. Menurut John Kilduff yang merupakan Partner di Again Capital di New York lockdown yang marak membuat prospek permintaan Asia berada dalam masalah.

"Penyebaran pandemi Covid-19 menjadi pusat perhatian lagi dan para trader semakin khawatir tentang durasi lockdown Eropa yang lama dan tentang pembatasan baru di China," kata Bjornar Tonnage dari Rystad Energy. "Pasar secara struktural bullish, tetapi mungkin terlalu jauh dari fundamentalnya." tambah Tonnage.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Mesti Senang atau Sedih? Sepekan Harga Minyak Lompat 5%

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular