Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah di perdagangan pasar spot pagi ini. 'Perang' AS-China yang memanas membuat investor memilih bermain aman dan urung masuk ke instrumen berisiko.
Pada Senin (18/1/2021), US$ 1 setara dengan Rp 14.000 kala pembukaan pasar spot. Rupiah menguat tipis 0,07% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Namun tidak lama kemudian rupiah masuk zona merah. Pada pukul 09:04 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.020 di mana rupiah melemah 0,07%.
Sepanjang pekan lalu, rupiah terdepresiasi 0,21% di hadapan dolar AS. Mata uang Negeri Paman Sam kembali 'bergentayangan' di atas Rp 14.000.
Awal pekan ini, sepertinya tren pelemahan rupiah belum mau pergi. Pasalnya, 'cuaca' di luar sedang tidak bersahabat, ada sentimen eksternal yang membuat rupiah sulit menguat.
Sentimen itu adalah friksi AS-China yang menegang. Di senjakala pemerintahannya, Presiden AS Donald Trump kembali melancarkan perang urat-syaraf kepada China.
Teranyar, presiden ke-45 Negeri Adidaya itu menginstruksikan kementerian untuk meminimalkan pengadaan barang dan jasa dari Negeri Tirai Bambu. Robert O'Brien, Penasihat Keamanan Gedung Putih, menyatakan langkah itu bertujuan untuk mengurangi risiko spionase.
"Untuk alasan ini, AS harus mengambil langkah demi melindungi kepentingannya. Kami harus menyesuaikan kebijakan untuk mengurangi risiko aktivitas spionase Partai Komunis China kepada pemerintah AS. Apapun yang berkaitan dengan perusahaan China punya risiko untuk digunakan sebagai sarana ke arah sana. Misalnya, perangkat keras (hardware) mereka bisa masuk ke jaringan kami sehingga menimbulkan kerawanan," tegas O'Brien, seperti dikutip dari Reuters.
Sejak Trump menghuni Gedung Putih, hubungan Washington-Beijing memang tidak mulus. Perang dagang, perang investasi, perang mata uang, dan kini tudingan aktivitas mata-mata mewarnai relasi dua kekuatan ekonomi terbesar di dunia itu.
Pekan lalu, Trump mengeluarkan beleid untuk mengenakan sanksi terhadao perusahaan-perusahaan China yang dianggap terlibat dalam gesekan di Laut China Selatan. Ada sembilan perusahaan yang masuk daftar, salah satuya adalah raksasa telekomunikasi Xiaomi dan pemain besar di sektor migas CNOOC.
Trump memang bakal lengser tidak lama lagi, Joseph 'Joe' Biden akan segera menggantikannya pada 20 Januari 2021. Namun berbagai kebijakan yang dibikin oleh Trump dalam beberapa tahun terakhir tidak bisa dibalik begitu saja karena memang banyak yang kudu ditinjau ulang. Perlu proses jika Biden ingin melakukan normalisasi hubungan dengan Negeri Panda.
Dampak ketegangan hubungan AS-China tidak main-main. US-China Business Council (USCBC) memperkirakan perang dagang kedua negara bisa menyebabkan lapangan kerja di Negeri Adikuasa menyusut sebanyak 245.000. Produk Domestik Bruto (PDB) AS bisa berkurang UD$ 1,6 triliun dalam tempo lima tahun.
"Oleh karena itu, mempertahakan akses pasar ke China sangat penting bagi AS. Apalagi China diperkirakan akan menggerakkan sepertiga pertumbuhan ekonomi dunia dalam satu dekade mendatang," sebut kajian itu.
Hubungan AS-China yang kembali tegang berdampak ke pasar keuangan. Maklum, pengalaman perang dagang AS-China pernah menjadi risiko besar bagi perekonomian dunia sampai tahun lalu, sebelum datang risiko baru bernama pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Soal pandemi, Trump pun menyalahkan China sebagai biang kerok karena virus corona memang awalnya mewabah di Kota Wuhan yang kemudian menyebar ke pelosok planet bumi.
Baca: Trump Desak PBB Tuntut China & WHO Soal Virus Corona
"Terlalu banyak yang menjad pikiran pelaku pasar. Pandemi, vaksin, dan sekarang isu AS-China," ujar Paul Nolte, Portfolio Manager di Kingsview Asset Management yang berbasis di Chicago, seperti diwartakan Reuters.
Beban pikiran itu membuat investor memilih bermain aman. Hasilnya, arus modal ke pasar keuangan negara-negara berkembang pun berkurang, termasuk ke Indonesia. Rupiah jadi tidak modal untuk menguat.
TIM RISET CNBC INDONESIA