
Sekedar Mengingatkan, Ini Ngerinya Taper Tantrum Bagi Rupiah

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks dolar Amerika Serikat (AS) bangkit dari level terendah nyaris 3 tahun terakhir yang disentuh pada pekan lalu.
Kenaikan yield obligasi (Treasury), ekspektasi membaiknya perekonomian, serta prospek melesatnya inflasi membuat "bisik-bisik" pengurangan nilai pembelian aset (quantitative easing/QE) atau yang dikenal dengan istilah "tapering" oleh bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) muncul ke pasar. Hal tersebut yang menjadi pemicu penguatan dolar AS belakangan ini.
Pada Rabu (6/1/2021), indeks yang dijadikan tolak ukur kekuatan dolar AS tersebut menyentuh level 89,209, terendah sejak Maret 2018. Tetapi di hari itu juga, indeks dolar AS bangkit dan membukukan penguatan 0,11%, dan berlanjut hingga Senin kemarin. Total penguatan selama 4 hari perdagangan tersebut sebesar 1,04%, sebelum terkoreksi 0,41% kemarin.
"Bisik-bisik" yang muncul di pasar menyebutkan jika The Fed kemungkinan akan melakukan tapering di akhir tahun ini. Beberapa pekan lalu, 4 pejabat The Fed yang melempar wacana tersebut.
Sebagai informasi, nilai QE The Fed saat ini sekitar US$ 120 miliar per bulan. Hal tersebut dilakukan guna menambah likuiditas serta membangkitkan perekonomian AS yang mengalami resesi akibat pandemi penyakit virus corona (Covid-19).
Inflasi serta pasar tenaga kerja AS menjadi 2 indikator utama bagi The Fed dalam menentukan kebijakan moneter nantinya.
Banyak pejabat The Fed lainnya menyatakan pembahasan tapering masih terlalu prematur, dan wakil ketua The Fed, Richard Clarida, bankir yang paling senior, menyatakan tidak akan ada perubahan apapun hingga tahun 2022.
Sebelum tahun ini, tapering The Fed pernah terjadi pada periode 2013-2015. Krisis finansial global yang terjadi pada tahun 2008 membuat The Fed menerapkan QE dalam 3 tahap.
QE 1 dilakukan mulai November 2008, kemudian QE 2 mulai November 2010, dan QE 3 pada September 2012. Nilainya pun berbeda-beda, saat QE 1 The Fed membeli efek beragun senilai US$ 600 miliar, kemudian QE 2 juga sama senilai US$ 600 miliar tetapi kali ini yang dibeli adalah obligasi pemerintah (Treasury) AS.
QE 3 berbeda, The fed mengumumkan pembelian kedua aset tersebut senilai US$ 40 miliar per bulan, kemudian dinaikkan menjadi US$ 85 miliar per bulan.
Kebijakan suku bunga rendah dan QE membuat perekonomian Negeri Paman Sam banjir likuiditas, akibatnya indeks dolar AS tertahan di bawah level 90. Artinya dolar AS sedang melempem.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Taper Tantrum Bikin Rupiah Jeblok Hingga 50%
Pada Juni 2013 The Fed yang saat itu dipimpin Ben Bernanke akhirnya mengeluarkan wacana tapering QE. Saat wacana tersebut muncul dolar AS menjadi begitu perkasa, hingga ada istilah "taper tantrum". Maklum saja, sejak diterapkan suku bunga rendah serta QE, nilai tukar dolar AS melempem. Sehingga saat muncul wacana pengurangan QE hingga akhirnya dihentikan dolar AS langsung mengamuk atau yang dikenal dengan istilah "taper tantrum" mata uang lainnya dibuat rontok oleh the greenback.
The Fed akhirnya mulai mengurangi QE sebesar US$ 10 miliar per bulan dimulai pada Desember 2013, hingga akhirnya dihentikan pada Oktober 2014. Akibatnya, sepanjang 2014, indeks dolar melesat lebih dari 12%.
Tidak sampai di situ, setelah QE berakhir muncul wacana normalisasi alias kenaikan suku bunga The Fed, yang membuat dolar AS terus berjaya hingga akhir 2015 saat suku bunga acuan akhirnya dinaikkan 25 basis poin menjadi 0,5%. Setelahnya, The Fed mempertahankan suku bunga tersebut selama 1 tahun, penguatan indeks dolar pun mereda.
Rupiah menjadi salah satu korban keganasan taper tantrum kala itu. Sejak Bernanke mengumumkan tapering Juni 2013 nilai tukar rupiah terus merosot hingga puncak pelemahan pada September 2015.
Di akhir Mei 2013, kurs rupiah berada di level Rp 9.790/US$ sementara pada 29 September 2015 menyentuh level terlemah Rp 14.730/US$, artinya terjadi pelemahan lebih dari 50%.
Berkaca dari pengalaman tersebut, The Fed kali ini akan berusaha meredam terjadinya taper tantrum.
The Fed merilis notula rapat kebijakan moneter pertengahan Desember lalu pada Kamis (7/1/2020) dini hari. Dalam notula tersebut menunjukkan para anggota dewan The Fed sepakat akan terus menginformasikan ke pasar kapan program pembelian aset (quantitative easing) akan mulai dikurangi.
"Banyak pihak mencatat pentingnya Komite (pembuat kebijakan) memberikan informasi yang jelas mengenai penilaian kondisi saat ini dan progres target jangka panjang yang dinilai cukup substansial untuk menjamin perubahan laju pembelian aset," kata The Fed dalam notula tersebut.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS