
Dalam Cadangan Devisa yang Sehat Terdapat Rupiah yang Kuat!

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak menguat di perdagangan pasar spot pagi ini. Sepertinya minat investor terhadap aset-aset berisiko sudah kembali sehingga menopang keperkasaan mata uang Ibu Pertiwi.
Pada Rabu (6/1/2021), US$ 1 setara dengan Rp 13.890 kala pembukaan pasar spot. Rupiah menguat 0,07% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Kemarin, rupiah mengakhiri perdagangan pasar spot dengan depresiasi 0,11% di hadapan dolar AS. Tidak hanya rupiah, berbagai mata uang utama Asia pun lesu di hadapan greenback.
Maklum, kemarin mata uang Negeri Paman Sam mengamuk setelah tertindas terlalu lama. Namun ternyata amukan dolar AS tidak bertahan lama. Pada pukul 07:27 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) terkoreksi hingga nyaris 0,5%.
"Risiko yang dihadapi dolar AS masih sangat besar. Mata uang ini akan diperdagangkan dengan mempertimbangkan risiko tersebut," kata Shinichiro Kadota, Senior Currency Strategist di Barclays Capital yang berkedudukan di Tokyo, seperti dikutip dari Reuters.
Saat ini, salah satu risiko yang dihadapi dolar AS adalah ketidakpastian soal pemilihan anggota Senat. AS memiliki dua kamar legislatif, Senat dan House of Representatives.
Hasil pemilu 2019 kembali mengukuhkan dominasi Partai Demokrat di House. Namun di Senat, situasi belum pasti karena masih menunggu hasil suara di Negara Bagian Georgia.
Ada kemungkinan Partai Republik kembali menguasai Senat. Jika House dan Senat dipegang oleh dua kubu yang berbeda, maka dikhawatirkan kebijakan pemerintah akan sulit berjalan mulus. Berbagai undang-undang yang membutuhkan stempel Senat dan House bakal melalui proses yang alot dan pasti memakan waktu.
Padahal situasi masih rawan karena pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) belum kelar. Pemerintah dituntut harus bisa bekerja cepat, dan itu harus mendapat dukungan dari legislatif.
Situasi politik di Washington yang belum sepenuhnya kondusif membuat investor menjaga jarak dengan aset-aset berbasis dolar AS. Akibatnya, tren depresiasi mata uang ini terus berlanjut.
