Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun 2020 merupakan tahun yang tidak diperkirakan oleh banyak orang, seakan tak berkesan yang berarti di tahun 2020.
Wabah virus corona (Covid-19) meluluhlantakkan hampir segala aspek, baik kesehatan, sosial, bahkan perekonomian. Banyak negara yang tertatih-tatih dan akhirnya masuk ke dalam jurang resesi.
Hal ini juga berpengaruh kepada pergerakan mata uang greenback, yakni dolar Amerika Serikat (AS). Pada awal-awal tahun 2020 atau saat pandemi sedang gencar menyerang berbagai negara, yakni sekitar bulan maret hingga April-Mei, dolar AS masih bertengger di posisi atas, bahkan sempat menyentuh level tertingginya pada Maret 2020.
Seiring perkembangan, ekonomi AS pun tak luput dari serangan virus asal Wuhan tersebut, membuat pergerakan dolar AS mulai surut pada Mei 2020, dibarengi dengan kenaikan perlahan harga emas sebagai asset safe haven.
Pergerakan dolar AS dengan emas memang berlawanan, jika dolar AS menurun, maka harga emas cenderung bergerak sebaliknya.
Seiring dari mulainya pulihnya perekonomian di berbagai negara secara perlahan, termasuk AS. Selain itu, perkembangan positif vaksin Covid-19 juga membuat dolar AS semakin merana, karena investor sudah mulai berani berinvestasi di asset berisiko.
Alhasil, pada hari penutupan tahun 2020, dolar AS ditutup di level rendah.
Banjir likuiditas di perekonomian AS menjadi penyebab dolar AS terus tertekan dan berakhir di level rendah.
Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang mengumumkan kebijakan moneter pertengahan bulan ini berkomitmen untuk menjalankan program pembelian aset (quantitative easing/QE) sampai pasar tenaga kerja AS kembali mencapai full employment dan inflasi konsisten di atas 2%.
Artinya kebijakan moneter ultra longgar masih akan dipertahankan dalam waktu yang lama. The Fed juga menegaskan akan menambah nilai QE jika perekonomian AS kembali melambat.
The Fed memberikan proyeksi inflasi yang dilihat dari belanja konsumsi personal (personal consumption expenditure/PCE) di tahun ini sebesar 1,2%, kemudian di tahun depan 1,8%. Artinya masih belum mencapai target di atas 2%, sehingga pada tahun depan kebijakan moneter yang diterapkan masih ultra longgar.
Besarnya QE yang sudah digelontorkan tercermin dari Balance Sheet The Fed yang menunjukkan nilai surat berharga yang dibeli melalui kebijakan quantitative easing. Semakin banyak jumlah aset yang dibeli, balance sheet The Fed akan membesar.
Di bulan Februari, sebelum virus corona menjadi pandemi, nilai Balance Sheet The Fed sekitar US$ 4,1 triliun, sementara posisi di 9 Desember sebesar US$ 7,2 triliun. Artinya selama pandemi ini, The Fed sudah membanjiri perekonomian AS dengan likuiditas lebih dari US$ 3 triliun.
Kebijakan tersebut terbilang sangat agresif, sebab saat krisis finansial melanda AS di tahun 2008 The Fed juga melakukan hal yang sama. Nilai Balance Sheet juga melonjak US$ 3 triliun, tetapi terjadi dalam tempo 3 tahun hingga 2011.
Dengan agresifnya The Fed membanjiri perekonomian AS dengan duit, maka wajar jika nilai dolar AS terus melemah. Secara teori, semakin banyak uang beredar maka nilai tukarnya akan semakin melemah.
Selain QE, The Fed juga berkomitmen mempertahankan suku bunga acuan <0,25% dalam waktu yang lama.
"Langkah-langkah ini akan memastikan kebijakan moneter akan terus memberikan dukungan yang kuat terhadap perekonomian sampai pemulihan tercapai," kata Ketua The Fed, Jerome Powell, saat konferensi pers, sebagaimana dilansir CNBC International.
Data dari Fed Dot Plot, yang menggambarkan proyeksi suku bunga para pembuat kebijakan (Federal Open Market Committee), menunjukkan suku bunga baru akan dinaikkan pada tahun 2023.
Alhasil, dolar AS masih akan tertekan setidaknya 2 tahun ke depan.
Belum lagi stimulus fiskal yang digelontorkan pemerintah AS. Di awal pekan ini, Presiden AS, Donald Trump, sudah menandatangani rancangan undang-udang (RUU) stimulus fiskal senilai US$ 900 miliar.
Presiden Trump sebentar lagi akan lengser dari jabatannya, dan digantikan oleh Joseph 'Joe' Biden, pada 20 Januari mendatang.
Biden sebelumnya sudah mengatakan akan menggelontorkan stimulus tambahan guna membantu perekonomian AS. Sehingga ke depannya, tekanan bagi dolar AS akan semakin bertambah.
TIM RISET CNBC INDONESIA