
Jahat! Usai ke US$ 52/barel, Harga Minyak Dunia Dibanting

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga kontrak futures Brent sempat melesat ke US$ 52/barel pada perdagangan kemarin. Namun harus berakhir di zona koreksi pada penutupan. Kendati ada berita positif terkait ditekennya stimulus fiskal jilid II di AS, munculnya varian baru Covid-19 yang lebih ganas masih mencemaskan pasar.
Harga kontrak minyak mentah Brent berakhir di US$ 50,86 per barel turun 43 sen atau 0,84% setelah diperdagangkan di level tertinggi harian US$ 52,02 di awal sesi. Minyak mentah AS West Texas Intermediate (WTI) ditutup ke US$ 47,62 per barel turun 61 sen atau 1,26%.
Namun pada perdagangan pagi ini Selasa (29/12/2020) harga si emas hitam mengalami apresiasi. Brent naik 0,67% ke US$ 51,18/barel sementara untuk WTI naik 0,71% ke US$ 47,96/barel.
Presiden Donald Trump akhirnya meneken Undang-undang (UU) anggaran negara tahun fiskal 2021 yang bernilai US$ 2,3 triliun. Sebelumnya Trump ogah meneken RUU tersebut lantaran nilainya sangat kecil.
Kongres telah menyepakati Bantuan Langsung Tunai (BLT) senilai US$ 600 sementara Trump ingin di US$ 2.000. Namun dengan ditekennya RUU tersebut pemerintah AS pun terhindar dari penutupan sementara (shutdown).
Adanya stimulus diharapkan mampu meredam dampak Covid-19 terhadap perekonomian yang lebih jauh. Bantuan ini juga diharapkan setidaknya bisa menjaga daya beli masyarakat dalam jangka waktu tertentu yang pada akhirnya bisa meningkatkan permintaan terhadap barang dan komoditas, tak terkecuali minyak.
Namun varian baru virus di Inggris telah menyebabkan pembatasan pergerakan diberlakukan kembali. Hal ini membuat permintaan jangka pendek tertekan dan membebani harga.
"Kita terus fokus pada pandemi ini dan apa yang akan terjadi pada Januari," kata John Kilduff, partner di Again Capital di New York. "Prospek lebih banyak lockdown yang membayangi dan saya pikir itulah yang menahan segalanya."
Dari sisi pasokan, Menteri Energi Rusia Alexander Novak mengatakan bahwa Moskow memandang harga minyak antara US$ 45 dan US$ 55 per barel sebagai tingkat optimal untuk memungkinkan pemulihan produksi minyaknya.
Rusia sebagai salah satu produsen minyak terkemuka anggota OPEC+, setuju untuk mengurangi produksi guna mendukung pasar minyak global karena pandemi Covid-19 telah melemahkan permintaan bahan bakar.
Sejak kesepakatan mengenai rekor pemangkasan pasokan global diteken pada bulan April, OPEC+ telah secara progresif mengurangi pemangkasan dan diharapkan bakal meningkatkan output sebesar 500.000 barel per hari mulai Januari tahun 2021.
Para kartel minyak tersebut rencananya bakal mengadakan pertemuan puncak secara daring pada 4 Januari. Dalam pertemuan tersebut para anggota diharapkan untuk membahas apakah akan melepaskan 500.000 barel per hari lagi pada bulan Februari.
"Jika situasi tetap normal dan stabil, kami akan mendukung posisi ini (naik 500.000 bpd)," kata Novak kepada wartawan pada briefing yang diadakan di markas pemerintah, sebagaimana diwartakan Reuters.
Dia mengatakan Rusia mendukung peningkatan produksi secara bertahap untuk menghindari guncangan di pasar. OPEC+ awalnya setuju untuk meningkatkan produksinya sebesar 2 juta barel per hari mulai Januari, tetapi memutuskan kenaikan yang lebih kecil pada pertemuannya awal bulan ini.
OPEC+ setuju untuk memangkas produksi gabungannya hampir 10 juta barel per hari, atau 10% dari permintaan global sebelum krisis, pada bulan April. Dari jumlah itu, Rusia berjanji untuk memotong lebih dari 2 juta barel per hari.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Aktivitas Bisnis AS Melambat, Harga Minyak Mentah Mendingin!