
Rupiah Kalah Telak, Won Korsel Kini Diborong Investor

Jakarta, CNBCÂ Indonesia -Â Nilai tukar rupiah menguat tipis melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat (11/12/2020). Meski demikian, kinerja rupiah masih kalah jauh ketimbang won Korea Selatan, bahkan hasil survei terbaru dari Reuters menunjukkan won kini menjadi mata uang yang paling diburu investor.
Melansir data Refinitiv, pada pukul 13:21 WIB, rupiah menguat 0,07% melawan dolar AS ke Rp 14.080/US$, sementara won melemah 0,3% ke 1.088,79/US$. Tetapi jika melihat kinerja sepanjang tahun ini atau secara year-to-date (YtD) rupiah masih melemah 1,44%, sementara won sudah menguat 5,56% melawan dolar AS.
Survei 2 mingguan Reuters menunjukkan posisi long (beli) rupiah terhadap dolar AS menurun dibandingkan dua pekan lalu, sementara posisi long won justru melesat naik.
Survei dari Reuters tersebut menggunakan rentang -3 sampai 3. Angka positif berarti pelaku pasar mengambil posisi long (beli) terhadap dolar AS dan short (jual) terhadap rupiah/won. Begitu juga sebaliknya, angka negatif berarti mengambil posisi short (jual) terhadap dolar AS dan long (beli) terhadap rupiah/won.
Hasil survei terbaru yang dirilis Kamis (10/12/2020) kemarin untuk rupiah menunjukkan angka -0,61, turun dari 2 pekan lalu -0,92. Sementara untuk won naik menjadi -1,68 dari sebelumnya -1,29.
Semakin tinggi angka negatif artinya pelaku pasar semakin banyak mengambil posisi long. Won kini menjadi mata uang Asia yang paling banyak diborong, mengalahkan yuan China yang dua pekan lalu menjadi yang teratas.
Survei dari Reuters tersebut tersebut konsisten dengan pergerakan rupiah begitu juga won di tahun ini. kala angka positif maka rupiah cenderung melemah, begitu juga sebaliknya.
Di bulan Januari saat hasil survei menunjukkan angka -0,86 untuk rupiah, dan menjadi yang tertinggi dibandingkan mata uang Asia lainnya. Won juga kalah jauh dengan angka -0,22. Alhasil rupiah terus menguat melawan dolar AS. Pada 24 Januari, rupiah membukukan penguatan 2,27% YtD, dan menjadi mata uang terbaik di dunia kala itu. Di saat yang sama, won justru melemah 1,31%.
Pada bulan Maret lalu, ketika rupiah mengalami gejolak, investor mengambil posisi jual (short) rupiah, dengan angka survei yang dirilis Reuters sebesar 1,57. Semakin tinggi nilai positif, semakin besar posisi short rupiah yang diambil investor. Rupiah pun ambruk nyaris 20% Ytd ke ke Rp 16.620/US$, terlemah sejak krisis moneter 1998. Hal yang sama juga terjadi dengan won, tetapi angka survei lebih rendah, sebesar 1,22%, dan kemerosotan won melawan dolar AS juga tidak sebesar rupiah.
Kini dengan angka survei kembali negatif, artinya ada peluang rupiah dan won akan kembali menguat, tetapi won jauh lebih unggul. Apalagi, dengan angka negatif untuk rupiah yang semakin mengecil, artinya daya tarik rupiah semakin meredup, sementara won semakin bersinar.
Korea Selatan kini kembali menghadapi lonjakan kasus penyakit virus corona (Covid-19), tetapi won masih tetap perkasa.
Melansir data dari Worldometer, pada Kamis (10/12/2020) kemarin jumlah kasus Covid-19 bertambah sebanyak 682 kasus, menjadi penambahan tertinggi sejak 3 Maret lalu, saat terjadi penambahan sebanyak 851 kasus.
Itu artinya, penambahan kasus kemarin menjadi rekor terbanyak kedua. Lonjakan kasus Covid-19 di Negeri Kpop ini mulai terjadi sejak pertengahan November lalu. Jumlah kasus aktif kini mencapai 8.897 orang, menjadi yang terbanyak sepanjang pandemi melanda Korsel.
Meski demikian, nilai tukar won masih tetap menguat melawan dolar AS. Jika dilihat dari kasus Covid-19, perkembangan vaksin virus corona menjadi kabar baik ditengah peningkatan kasus Covid-19.
Perekonomian Korsel yang diprediksi menjadi salah satu yang terbaik di tahun ini menjadi pemicu penguatan won.
Bank sentral Korea Selatan (Bank of Korea/BoK) pada Senin (30/11/2020) lalu, merevisi melaporkan produk domestik bruto (PDB) kuartal III-2020 yang berkontraksi (tumbuh negatif) 1,1% year-on-year (YoY), lebih baik dari rilis awal kontraksi 1,3%.
Kontraksi tersebut lebih baik dari -2,7% YoY pada periode 3 bulan sebelumnya. Meski demikian, Korea Selatan sah mengalami resesi.
Secara umum, suatu negara dikatakan mengalami resesi ketika PDB mengalami kontraksi 2 kuartal beruntun secara tahunan (YoY). Sementara jika kontraksi terjadi secara kuartalan (quarter-on-quarter/QoQ), maka dikatakan mengalami resesi teknikal.
Nah, negara dengan nilai ekonomi terbesar ke-4 di Asia ini justru sudah lepas dari resesi teknikal.
BoK melaporkan PDB tumbuh 2,1% QoQ. Sementara di kuartal II-2020 lalu terkontraksi 3,2% QoQ terdalam sejak 2008, dan di 3 bulan pertama tahun ini minus 1,3% QoQ.
Alex Holmes, ekonom di Capital Economics, memprediksi perekonomian Korsel sepanjang tahun ini akan mengalami kontraksi 1%, tetapi akan menjadi salah satu yang terbaik dunia di tahun ini.
"Meski ini (kontraksi ekonomi 1%) menjadi yang terburuk sejak 1998, tetapi itu tetap membuat Korea Selatan menjadi salah satu negara dengan perekonomian terbaik di dunia tahun ini," kata Holmes, sebagaimana dilansir ABS CBN News, Selasa (27/10/2020).
Jumat pekan lalu, BoK juga melaporkan transaksi berjalan (current account) yang mencatat surplus dalam 6 bulan beruntun di bulan Oktober. Surplus current account tercatat sebesar US$ 11,66 miliar di bulan Oktober, naik 48,9% dibandingkan Oktober 2019. Merosotnya impor menjadi pemicu kenaikan current account Korsel.
Surplus current account tersebut menjadi yang terbesar sejak September 2017 lalu, dan menjadi yang terbesar ketiga sepanjang sejarah.
Sepanjang Januari hingga Oktober, surplus current account tercatat sebesar US$ 54,97 miliar, lebih tinggi dari periode yang sama tahun 2019 US$ 5,3 miliar.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$