Meski Utang Pemerintah Membengkak, Pasar SBN Tak Ada Matinya

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
11 December 2020 09:37
US Treasury, Bond, Obligasi
Foto: US Treasury, Bond, Obligasi (Ilustrasi Obligasi)

Jakarta, CNBC Indonesia - Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS) diprediksi menguat di penghujung tahun ini, tetapi belum cukup untuk kembali ke level sebelum pandemi. Artinya, harga masih terhitung "diskon" sehingga obligasi masih bakal diburu.

Menurut survei Reuters, yield surat berharga negara (SBN) global diperkirakan masih tetap rendah (alias harga pasar masih tinggi), meski terjadi pembengkakan utang di banyak negara. Pemicunya adalah selera mengambil risiko (risk appetite) pelaku pasar yang masih tinggi, terutama di tengah ekspektasi likuiditas bursa global yang berlebih.

Mayoritas obligasi pemerintah dinilai bakal menarik harganya, dengan yield yang terjaga rendah. Padahal, utang pemerintah membumbung akibat pandemi Covid-19 yang semula diduga bakal memicu investor mencari aset aman lain di luar Surat Berharga Negara (SBN).

Menyusul reli saham pada November, investor global ternyata masih nyaman memegang SBN menyusul masih adanya risiko kenaikan kasus Covid-19 yang bisa memicu gelombang kedua penyebaran. Aksi buru terus terjadi meski utang global menyentuh rekor tertinggi.

Menurut polling Reuters pada 1-8 Desember terhadap 60 perencana investasi, median proyeksi mereka berujung pada kenaikan imbal hasil surat utang pemerintah AS tenor 10 tahun menjadi 1,2% dalam 12 bulan ke depan.

Artinya, harga obligasi di Negara Adidaya diprediksi masih lemah tahun depan. Bahkan jika proyeksi 12 bulan tersebut terealisasi, yakni menguat 1,2%, itu masih lebih rendah dari level akhir tahun lalu. Imbal hasil riil masih lebih rendah alias negatif karena bank sental AS (Federal Reserve/The Fed) masih melanjutkan suntikan likuiditas.

Di pasar obligasi pemerintah Indonesia, pola serupa (pelemahan harga tetapi belum kembali ke level sebelum pra-pandemi) juga terlihat. Pada perdagangan Kamis (10/12/2020) harga SBN ditutup cenderung menguat, kecuali SBN yang berjatuh tempo 3 tahun, 5 tahun, dan 15 tahun.

Imbal hasil ketiganya meningkat naik masing-masing sebesar 2,9 basis poin (bps), 0,1 bps, dan 0,2 bps. Yield berlawanan arah dari harga sehingga kenaikan yield menunjukkan harga obligasi yang turun. Demikian juga sebaliknya. Satu basis poin setara 1/100 dari 1%.

Imbal hasil SBN tenor 10 tahun (yang menjadi acuan yield obligasi negara) melemah 2 basis poin ke 6,195%. Level imbal hasil itu masih lebih rendah jika dibandingkan dengan yield akhir tahun lalu yang berada di level 7,098%. Artinya, koreksi harga yang terjadi masih menyisakan cuan.

Gelontoran stimulus yang memicu kenakan uang beredar diduga tidak akan sampai memicu kenaikan inflasi (yang merupakan musuh natural dari imbal hasil atau keuntungan tetap obligasi). Oleh karenanya, investor global secara umum memegang ekspektasi inflasi yang masih rendah, sehingga mereka masih berselera membeli SBN di seluruh dunia.

"Kami tak yakin bahwa dari sini ke depan, imbal hasil akan naik lebih jauh lagi. Kami sebenarnya berpikir bahwa imbal hasil akan turun dengan kurva akhir yang lebih panjang," tutur Elwin de Groot, Kepala Perencana Makro Rabobank, sebagaimana dikutip CNBC International.

Pasar, lanjut dia, masih dalam situasi ketidakpastian ekonomi. Meski akan ada vaksin dalam waktu dekat, tapi belum diketahui secara pasti kapan pemerintah akan mulai merilis stimulus untuk menolong ekonomi yang masih kepayahan.

Kondisi pasar obligasi nasional pun kemungkinan tidak akan berbeda jauh. Imbal hasil riil memang masih akan lebih rendah dibandingkan dengan posisi awal tahun karena bank sental masih melanjutkan program mendukung otoritas fiskal dengan menyuntik likuiditas.

Dari sisi perbankan, pertumbuhan kredit tiap bulannya juga terus merendah, sementara dana phak ketiga (DPK) terus meningkat. Pergerakan yang berlawanan arah ini mengindikasikan bahwa likuiditas perbankan kian longgar.

Di tengah kondsi perekonomian yang masih belum menentu, kalangan perbankan kemungknan besar akan menaikkan porsi pembelian obligasi pemerintah maupun sertifikat Bank Indonesia (BI) yang menjanjikan keuntungan tetap. Ini dari sisi permintaan investor institusi.

Data Statistik Perbankan Indonesia (SPI) per September di atas juga menunjukkan bahwa poss tabungan masyarakat terus meningkat, yang mengindikasikan bahwa mereka memilih mengerem belanja dan selera mengambil risikonya masih rendah.

Dus, ada peluang besar dana tabungan tersebut sebagian akan ditanamkan ke pasar surat berharga negara (SBN), sebagai bentuk diversifikasi aset. Ini akan menciptakan kolam tambahan dari sisi permintaan. Permintaan tinggi, di kala penawaran relatif tetap, memicu kenaikan harga.

Bagi pemerintah, kondisi imbal hasil yang masih rendah memungkinkan mereka menerbitkan surat utang baru dengan kupon bunga yang lebih rendah juga karenaa mengacu pada yield pasar. Hal ini berujung pada turunnya beban pembiayaan (cost of fund) yang harus dikeluarkan dari APBN.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular