Dolar AS Ambrol, Saatnya Mata Uang Lain "Go International"?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
08 December 2020 17:03
Ilustrasi Dollar
Foto: Freepik

Jakarta, CNBC Indonesia - Dolar AS masih kesulitan untuk bangkit di pekan ini, setelah merosot tajam sejak awal November lalu, hingga menyentuh level terendah dalam 2,5 tahun terakhir. Tidak hanya itu, sang "raja" mata uang diperkirakan akan terus melemah hingga 2 tahun ke depan.

Melansir data Refinitiv, sepanjang November hingga 4 Desember lalu, indeks dolar AS ini merosot 3,6%, dan menyentuh level terendah sejak 23 April 2018. Sejak awal tahun atau secara year-to-date (YtD), indeks yang sering digunakan sebagai dolar ukur kekuatan dolar AS ini ambrol nyaris 6%.

Sementara pada perdagangan hari ini, Selasa (8/12/2020), pada pukul 16:48 WIB, indeks dolar AS naik tipis 0,04% ke 90,829, sementara kemarin juga naik 0,1%.

Hasil survei terbaru dari Reuters terhadap 72 analis menunjukkan, sebanyak 39% memprediksi dolar AS akan melemah hingga 2 tahun ke depan. Persentase tersebut menjadi yang tertinggi dibandingkan prediksi lainnya. Sebanyak 10% bahkan memperkirakan dolar AS masih akan melemah lebih dari 2 tahun ke depan.

Sementara itu, 15% melihat pelemahan dolar AS hanya akan berlangsung kurang dari 3 bulan dan setelahnya mulai bangkit. 14% meramal pelemahan berlangsung kurang dari 6 bulan, dan 22% lainnya kurang dari 1 tahun.

Artinya, semua analis memprediksi dolar AS masih akan melemah, setidaknya hingga 3 bulan ke depan. Dengan demikian, dolar AS kemungkinan akan sepi peminat, tetapi statusnya sebagai "raja" mata uang dunia masih sangat sulit untuk digantikan.

idrFoto: Reuters

China menjadi negara yang paling getol membawa mata uang yuan untuk menjadi mata uang internasional yang bisa menandingi dolar AS. Salah satu upaya China untuk membawa yuan menjadi mata uang internasional sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS dengan mendorong penggunaan yuan atau mata uang lokal sebagai alat pembayaran transaksi internasional secara bilateral.

China juga menjalin kerja sama dengan Indonesia untuk penggunaan mata uang lokal. Kerja sama tersebut dilakukan melalui Bank sentral China (PBoC) dengan Bank Indonesia (BI) yang disebut Local Currency Settlement (LCS). 

"Gubernur PBoC Yi Gang dan Gubernur BI Perry Warjiyo telah menyepakati pembentukan kerangka kerja sama untuk mendorong penggunaan mata uang lokal dalam penyelesaian transaksi perdagangan bilateral dan investasi langsung (Local Currency Settlement/ LCS). Kesepakatan tersebut dituangkan melalui penandatangan Nota Kesepahaman. Hal tersebut akan memperluas kerangka kerja sama LCS yang telah ada antara BI dengan Bank of Thailand, Bank of Negara Malaysia, dan Kementerian Keuangan Jepang," sebut keterangan tertulis BI yang diterbitkan Rabu (30/9/2020).

Melalui kerja sama ini, PBoC dan BI sepakat untuk mendorong penggunaan mata uang lokal dalam penyelesaian transaksi perdagangan dan investasi langsung. Hal tersebut meliputi, antara lain, penggunaan kuotasi nilai tukar secara langsung dan perdagangan antarbank untuk mata uang yuan dan rupiah. Kerja sama ini akan diperkuat melalui berbagi informasi dan diskusi secara berkala antara otoritas China dan Indonesia.

Keuntungan dari kerja sama tersebut tentunya bisa meminimalisir risiko akibat fluktuasi nilai tukar terhadap dolar AS. Selain itu, permintaan dolar AS dari dalam negeri untuk transaksi perdagangan, bisa ditekan, pada akhirnya nilai tukar mata uang menjadi lebih stabil.

Meski demikian, status "raja" sebagai mata dolar AS di dunia ini sangat sulit atau bahkan nyaris mustahil untuk dilengserkan.

Beberapa negara boleh saja menggunakan mata uang lokal transaksi perdagangan secara bilateral. Tetapi dolar AS tetap saja akan dibutuhkan. Sebabnya, AS menjadi negara dengan volume perdagangan terbesar kedua setelah China, jadi mau tidak mau dolar AS tetap akan tinggi permintaannya.

Berdasarkan data dari International Trade Center, total nilai perdagangan barang AS di tahun 2019 mencapai US$ 4,2 triliun. Nilai tersebut setara dengan 11,16% dari total nilai perdagangan di seluruh dunia.

Nilai perdagangan AS hanya kalah dari China yang mencapai US$ 4,6 triliun atau setara 12,09% dari nilai perdagangan dunia.

Meski "kalah" dari segi nilai perdagangan, dominasi dolar AS terlihat jelas dari porsinya di cadangan devisa dunia.

China meski menjadi negara dengan nilai perdagangan terbesar di dunia, nilai yuan di cadangan devisa dunia sebesar US$ 230,4 miliar di kuartal II-2020, berdasarkan data dari International Monetari Fund (IMF). Nilai tersebut setara 1,97% dari cadangan devisa dunia.

Bandingkan dengan dolar AS yang nilainya mencapai US$ 6.901,5 miliar atau 57,45% dari total cadangan devisa dunia. Persentase yang sangat jauh dengan yuan, bahkan euro yang berada di urutan kedua cadangan devisa terbanyak porsinya hanya 19,01%.

Artinya, meski China unggul dari segi perdagangan di dunia, tetapi transaksi yang dilakukan lebih banyak menggunakan dolar AS. Hal inilah yang coba dikurangi oleh China, dan lebih banyak menggunakan yuan sebagai transaksi perdagangan.

Dominasi dolar AS semakin terlihat sebab sekitar 90% transaksi valuta asing dunia melibatkan dolar AS, melansir The Balance. Hal ini menunjukkan dolar AS bisa diterima di hampir semua negara. Selain itu, 40% obligasi dunia juga diterbitkan dalam bentuk dolar AS.

Alhasil, dolar AS masih akan terus menjadi "raja" mata uang global.

TIM RISET CNBC INDONESIA 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular