Jakarta, CNBC Indonesia - Cadangan devisa Indonesia kembali mengalami penurunan pada November 2020, meski relatif tipis. Namun jika melihat ke belakang, cadangan devisa sudah mengalami penurunan dalam 3 bulan beruntun.
Pada Senin (7/12/2020), Bank Indonesia (BI) melaporkan cadangan devisa hingga akhir bulan lalu sebesar US$ 133,6 miliar. Turun US$ 100 juta dibandingkan Oktober 2020 yaitu US$ 133,7 miliar.
"Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 9,9 bulan impor atau 9,5 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Bank Indonesia menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan," sebut keterangan tertulis BI.
Perkembangan posisi cadangan devisa pada November 2020, lanjut keterangan BI, terutama dipengaruhi oleh penarikan pinjaman luar negeri pemerintah, penerimaan pajak dan devisa migas, serta pengeluaran untuk pembayaran utang luar negeri pemerintah. Ke depan, BI memandang cadangan devisa tetap memadai, didukung oleh stabilitas dan prospek ekonomi yang terjaga, seiring dengan berbagai respons kebijakan dalam mendorong pemulihan ekonomi.
Dalam 2 bulan sebelumnya, cadangan devisa mengalami penurunan US$ 1,7 miliar dan US$ 1,8 miliar. Sementara pada Agustus, cadangan devisa mencetak rekor tertinggi sepanjang masa US$ 137 miliar.
Pembayaran utang pemerintah masih menjadi pemicu penurunan cadangan devisa pada November. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan proyeksi utang pemerintah yang jatuh tempo pada 2020 sebesar Rp 238 triliun. Jumlah tersebut terdiri dari jatuh tempo obligasi negara Rp 158 triliun dan pinjaman Rp 80 triliun.
Akan tetapi, pembayaran utang luar negeri sedikit banyak mampu diimbangi dengan penarikan pinjaman pemerintah, penerimaan pajak dan devisa migas, sehingga penurunan cadangan devisa tidak terlalu dalam.
Sementara itu, nilai tukar rupiah yang menguat sepanjang November sehingga kebutuhan untuk intervensi menjadi minim. Melansir data Refinitiv, sepanjang bulan lalu, mata uang Tanah Air mampu melesat 3,63%.
Di sisi lain, harga komoditas ekspor andalan Indonesia melesat pada November. Harga minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) berada di level tertinggi 8 tahun, kemudian batu bara di level tertinggi 7 bulan. Rata-rata harga CPO di Burs Derivatif Malaysia bulan November sebesar 3.257,95 ringgit per ton, meroket 11,77% dibandingkan rata-rata harga bulan sebelumnya.
Sementara rata-rata harga batu bara acuan ICE Newcastle melesat 10,8% ke US$ 64,38 per ton. Harga batu bara acuan (HBA) di dalam negeri juga naik lebih dari 9% ke US$ 55,71/ton dibandingkan harga Oktober.
Kemenangan Joseph 'Joe' Biden, dalam pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) melawan petahana Donald Trump di pada 3 November lalu menjadi awal kenaikan harga-harga komoditas.
Kemenangan Biden diprediksi akan mengakhiri perang dagang AS dengan China, atau setidaknya tidak lebih buruk dari saat ini. Alhasil, prospek perekonomian global ke depannya menjadi lebih cerah, apalagi China merupakan salah satu konsumen CPO dan batu bara terbesar di dunia.
Perkembangan vaksin dari perusahaan farmasi asal AS, Pfizer dan Moderna, serta perusahaan farmasi asal Inggris AstraZeneca yang diklaim efektif menanggulangi virus corona hingga 90% atau lebih, membuat ekspektasi bangkitnya perekonomian global semakin membuncah.
Saat perekonomian bangkit, permintaan akan komoditas juga semakin meningkat.
Selain naiknya harga komoditas, obligasi Indonesia juga masih menarik bagi investor asing, terlihat dari lelang yang dilakukan pemerintah yang mengalami kelebihan permintaan (oversubscribed) 5 kali lipat.
Pemerintah kembali melakukan lelang Surat Utang Negara (SUN) pada Selasa (17/11/2020), dengan target indikatif sebesar Rp 20 triliun hingga RP 40 triliun. Total penawaran yang masuk sebesar Rp 104,69 triliun, dan yang dimenangkan sebesar Rp 24,6 triliun atau lebih tinggi dari target indikatif.
TIM RISET CNBC INDONESIA