
Menguat 3,6%, Rupiah Terbaik di Asia pada November

Jakarta, CNBCÂ Indonesia -Â Nilai tukar rupiah menguat tajam melawan dolar Amerika Serikat (AS) di bulan November, sentimen pelaku pasar yang membaik membuat aliran modal mengalir deras ke Indonesia yang membuat Mata Uang Garuda perkasa.
Berdasarkan data Refinitiv, rupiah membukukan penguatan 3,63% di pasar spot sepanjang November. Dibandingkan mata uang utama Asia lainnya, penguatan rupiah menjadi yang paling besar, sehingga menjadi yang terbaik.
Yuan China menjadi mata uang terbaik kedua dengan penguatan 3,23%, sementara mata uang lainnya penguatannya cukup jauh di bawah.
Fakta semua mata uang utama Asia menguat di bulan November menunjukkan dolar AS sedang lesu. Hal ini dimulai setelah hasil pemilihan presiden AS yang menunjukkan kemenangan Joseph 'Joe' Biden dari Partai Demokrat, melawan petahana dari Partai Republik, Donald Trump.
Kemenangan Biden dianggap menguntungkan negara-negara emerging market seperti Indonesia, sebab perang dagang AS-China kemungkinan akan berakhir atau setidaknya tidak memburuk. Selain itu, stimulus fiskal juga akan lebih besar ketimbang yang akan digelontorkan Trump dan Partai Republik.
Negara-negara emerging market seperti Indonesia juga berpotensi kecipratan aliran modal yang membuat rupiah perkasa.
Pelaku pasar semakin ceria setelah vaksin dari perusahaan farmasi asal AS, Pfizer dan Moderna, serta dari Inggris, AstraZeneca diklaim efektif menanggulangi virus corona hingga 90% atau lebih tanpa efek samping yang serius.
Pfizer telah resmi mengajukan izin penggunaan darurat (Emergency Use Authorization/EUA) terhadap vaksin anti-virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) yang mereka kembangkan kepada otoritas pengawas obat dan makanan AS (US FDA). Ini adalah proposal izin EUA pertama yang diajukan ke FDA.
FDA belum bisa berkomentar kapan EUA bisa diberikan. Namun yang jelas FDA akan mengadakan rapat pleno pada 10 Desember 2020 di mana para anggota akan membahas penggunaan vaksin. Alex Azar, Menteri Kesehatan AS, memperkirakan izin EUA akan keluar pada pertengahan Desember.
Semakin banyak vaksin, maka hidup akan berangsur normal kembali, roda bisnis berputar lebih cepat, dan perekonomian global bangkit kembali. Pelaku pasar pun menjadi ceria.
Alhasil, aliran modal mengalir deras ke dalam negeri. berdasarkan rilis Perkembangan Indikator Stabilitas Nilai Rupiah, data transaksi 2-5 November 2020, menunjukkan nonresiden di pasar keuangan domestik beli neto Rp3,81 triliun, dengan beli neto di pasar SBN sebesar Rp3,87 triliun dan jual neto di pasar saham sebesar Rp 60 miliar.
Sementara data transaksi 9 -12 November 2020, menunjukkan beli neto Rp7,18 triliun, dengan beli neto di pasar SBN sebesar Rp 4,71 triliun dan beli neto di pasar saham sebesar Rp 2,47 triliun.
Kemudian pada periode 16-19 November aksi beli asing mencapai Rp 8,53 triliun, sebesar Rp 7,04 triliun di pasar SBN, dan Rp 1,49 triliun di pasar saham. Periode 23 - 26 November, beli neto tercatat sebesar Rp 4,87 triliun, dengan rincian Rp 3,21 di pasar SBN dan Rp 1,36 triliun di pasar saham.
Hasil survei 2 mingguan Reuters yang dirilis bulan November lalu menunjukkan pelaku pasar melihat rupiah akan kembali menguat.
Survei dari Reuters tersebut menggunakan rentang -3 sampai 3. Angka positif berarti pelaku pasar mengambil posisi long (beli) terhadap dolar AS dan short (jual) terhadap rupiah. Begitu juga sebaliknya, angka negatif berarti mengambil posisi short (jual) terhadap dolar AS dan long (beli) terhadap rupiah.
Hasil survei terbaru yang dirilis Kamis (26/11/2020) kemarin menunjukkan angka -0,92, turun dari 2 pekan sebelumnya -1,01 yang merupakan angka negatif tersebut merupakan yang tertinggi dalam 6 tahun terakhir.
Semakin tinggi angka negatif artinya pelaku pasar semakin banyak mengambil posisi long rupiah, yang artinya Mata Uang Garuda kembali menjadi salah satu investasi.
Survei tersebut konsisten dengan pergerakan rupiah di tahun ini, kala angka positif maka rupiah cenderung melemah, begitu juga sebaliknya.
Di bulan Januari saat hasil survei menunjukkan angka negatif rupiah terus menguat melawan dolar AS. Pada 24 Januari, rupiah membukukan penguatan 2,29% secara year-to-date (YtD), dan menjadi mata uang terbaik di dunia kala itu.
Pada bulan Maret lalu, ketika rupiah mengalami gejolak, investor mengambil posisi jual (short) rupiah, dengan angka survei yang dirilis Reuters sebesar 1,57. Semakin tinggi nilai positif, semakin besar posisi short rupiah yang diambil investor. Rupiah pun ambruk nyaris 20% Ytd ke ke Rp 16.620/US$, terlemah sejak krisis moneter 1998.
Memasuki bulan April, rupiah perlahan menguat dan hasil survei Reuters menunjukkan posisi short rupiah semakin berkurang, hingga akhirnya investor mengambil posisi long mulai pada 28 Mei lalu. Alhasil rupiah membukukan penguatan lebih dari 15% sejak awal April hingga awal Juni. Namun sejak saat itu, hasil survei didominasi posisi short kembali, hingga akhirnya investor mengambil posisi long lagi di bulan November
Meski posisi long sedikit menurun, tetapi tergolong tinggi. Hasil survei Reuters menyatakan meredupnya daya tarik tersebut sebagai akibat pemangkasan suku bunga yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) pada Kamis (19/11/2020) lalu.
Pemangkasan suku bunga tersebut tentunya menurunkan imbal hasil (yield) berinvestasi di dalam negeri, sehingga daya tarik rupiah sedikit meredup.
Gubernur BI, Perry Warjiyo, dan sejawat menggelar RDG pada 18-19 November 2020. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate masih bertahan di 4%.
Tetapi dalam pengumuman hasil RDG Kamis pekan lalu, BI memutuskan memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 3,75%.
Sementara suku bunga Deposit Facility turun menjadi 3% dan suku bunga Lending Facility sekarang di 4,5%.
"Keputusan ini mempertimbangkan perkiraan inflasi yang tetap rendah, stabilitas eksternal yang terjaga dan langkah pemulihan ekonom nasional," kata Perry, dalam jumpa pers usai RDG, Kamis (19/11/2020)
BI memperkirakan inflasi akan rendah di tahun ini, bahkan di bawah 2%.
"Inflasi pada akhir 2020 lebih rendah dari batas bawah sasaran. Inflasi akan kembali ke kisaran 3% plus minus 1% pada 2021," kata Perry.
BI sebelumnya menetapkan inflasi 2020 di rentang 2% hingga 4%, sehingga di bawah batas bawah artinya di bawah 2%.
Penurunan suku bunga sebenarnya berdampak negatif bagi rupiah, sebab jumlah uang yang beredar berpotensi bertambah. Selain itu, imbal hasil (yield) di Indonesia menjadi menurun, sehingga ada risiko aliran modal asing tersendat. Tetapi, dengan inflasi yang rendah, real return berinvestasi di dalam negeri masih akan relatif tinggi, sehingga kemungkinan masih akan menarik bagi investor asing.
Selain itu, roda perekonomian bisa berputar lebih kencang, sebab biaya pinjaman baik untuk korporasi hingga rumah tangga akan menurun.
Rupiah juga masih ditopang oleh transaksi berjalan (current account) yang surplus untuk pertama kalinya dalam 9 tahun terakhir.
Pada kuartal III-2020, current account mencatat surplus sebesar US$ 1 miliar atau 0,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Transaksi berjalan menjadi faktor yang begitu krusial dalam mendikte laju rupiah lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil.
Transaksi berjalan sudah mengalami defisit sejak kuartal IV-2011, sehingga menjadi "hantu" bagi perekonomian Indonesia. Kala defisit membengkak, Bank Indonesia (BI) akan menaikkan suku bunga guna menarik hot money yang diharapkan dapat mengimbangi defisit transaksi berjalan, yang pada akhirnya dapat menopang penguatan rupiah.
Namun, kala suku bunga dinaikkan, suku bunga perbankan tentunya ikut naik, sehingga beban yang ditanggung dunia usaha hingga rumah tangga akan menjadi lebih besar. Akibatnya, investasi hingga konsumsi rumah tangga akan melemah, dan roda perekonomian menjadi melambat.
Kini dengan "hantu" CAD yang diperkirakan pergi dari Indonesia untuk pertama kalinya dalam 9 tahun terakhir, akan menjadi modal rupiah untuk menguat di sisa tahun ini, bahkan tidak menutup kemungkinan kembali ke kisaran Rp 13.00an/US$.
Kabar gembira lainnya datang dari data sektor manufaktur dan inflasi Indonesia.
IHS Markit hari ini melaporkan aktivitas manufaktur yang dicerminkan oleh Purchasing Managers' Index (PMI) berada di 50,6 pada November 2020. Naik hampir tiga poin dibandingkan posisi bulan sebelumnya yang sebesar 47,8.
PMI menggunakan angka 50 sebagai titik awal. Kalau di atas 50, artinya dunia usaha memasuki fase ekspansi.
Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa pada November 2020 terjadi inflasi 0,28% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/MtM). Ini membuat inflasi tahun kalender Januari-November 2020 (year-to-date/YtD) menjadi 1,23% dan inflasi tahunan (year-on-year/YoY) di 1,59%.
Realisasi ini tidak berbeda jauh dengan perkiraan pasar. Konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan terjadi inflasi 0,195% MtM dan 1,53% YoY.
Dua data tersebut menandakan roda bisnis mulai berputar kembali, dan pemulihan ekonomi Indonesia sedang berjalan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bukan Rupiah, Juara Asia Semester I-2020 Adalah Peso Filipina
