Ledakan Kasus Covid Menghantui Sentimen Pasar Pekan Depan

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
22 November 2020 20:35
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar finansial dalam negeri bergerak bervariasi pada pekan ini. Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan harga surat berharga negara (SBN) pekan ini sama-sama masih mencatatkan kinerja yang cukup positif. Lain halnya untuk rupiah, pada pekan ini cenderung flat.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) membukukan penguatan 2,03% ke 5.571,66. Data perdagangan mencatat investor asing melakukan jual bersih (net sell) sebesar Rp 321,93 miliar pada perdagangan akhir pekan lalu (20/11/2020).

Sementara itu, di kawasan Asia, penguatan IHSG berada di posisi ketujuh, di mana posisi pertama diduduki oleh Straits Times Index (STI) Singapura yang berhasil menguat 3,75% pada pekan ini.

Di pasar obligasi pemerintah, Seluruh tenor surat berharga negara (SBN) mengalami kenaikan harga selama sepekan yang tercermin dari penurunan yield-nya, di mana penurunan yield terbesar ada di SBN bertenor 20 tahun yang turun 21,8 basis poin pekan ini

Sementara itu, yield SBN dengan tenor 10 tahun yang merupakan acuan yield obligasi negara selama sepekan turun 12,4 basis poin ke level 6,900% pada hari ini.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga penurunan yield menunjukkan harga obligasi yang naik. Demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

Hal ini juga didukung dari minat investor terhadap obligasi Indonesia yang kembali tinggi, tercermin dari lelang Surat Utang Negara (SUN) pada Selasa (17/11/2020) lalu yang kelebihan permintaan (oversubscribed) 5 kali lipat dengan total penawaran yang masuk sebesar Rp 104,7 triliun, lebih tinggi dari penawaran yang masuk dalam lelang 2 pekan sebelumnya Rp 66,27 triliun.

Target indikatif yang ditetapkan sebesar Rp 20 triliun, dan dimenangkan dengan nilai sebesar Rp 24,6 triliun.

Namun, penguatan IHSG dan harga SBN tidak dibarengi oleh pergerakan rupiah, di mana pada pekan ini, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS cenderung stagnan di level Rp 14.150/US$.

Hal ini karena rupiah sudah menguat selama tujuh pekan berturut-turut, sehingga investor cenderung melakukan aksi ambil untung (profit taking). Selain itu, kombinasi sentimen jangka pendek negatif dan positif juga membuat pergerakan rupiah cenderung datar.

Rupiah pada perdagangan Jumat (20/11/2020) ditutup pada level Rp 14.150 per dolar Amerika Serikat (AS), atau tak berubah dibandingkan dengan posisi penutupan sepekan lalu. Penguatan hanya terjadi pada Senin dan Selasa, dan selanjutnya melemah hingga akhir pekan.

Sepanjang pekan ini, cukup banyak sentimen positif yang datang, baik di dalam negeri, maupun di luar negeri.

Di dalam negeri, sentimen positif yang datang sepanjang pekan ini adalah terkait rilis data suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) periode Oktober 2020 dan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal III-2020.

Pada Kamis (19/11/2020), BI RDG BI edisi November 2020 memutuskan untuk menurunkan BI 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 3,75%. Sementara itu, suku bunga Deposit Facility turun menjadi 3% dan suku bunga Lending Facility sekarang di 4,5%.

"Keputusan ini mempertimbangkan perkiraan inflasi yang tetap rendah, stabilitas eksternal yang terjaga dan langkah pemulihan ekonomi nasional," kata Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam jumpa pers usai RDG.

Hal ini tidak diperkirakan oleh mayoritas pelaku pasar. Konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia dan Reuters menghasilkan proyeksi BI 7 Day Reverse Repo Rate tetap di 4%.

Artinya, suku bunga acuan kini berada di di posisi terendah sejak diperkenalkan pada Agustus 2016 menggantikan BI Rate.

Dalam kondisi normal, penurunan suku bunga acuan membuat rentang (spread) imbal hasil SBN suatu negara menipis jika dibandingkan dengan negara maju, yang pda gilirannya menekan harga surat utang.

Kemudian pada Jumat (20/11/2020), BI mencatat, NPI pada kuartal III-2020 surplus sebesar US$ 2,1 miliar melanjutkan capaian surplus sebesar US$ 9,2 miliar pada triwulan sebelumnya.

Surplus NPI yang berlanjut tersebut didukung oleh surplus transaksi berjalan maupun transaksi modal dan finansial.

Pada kuartal III-2020, transaksi berjalan (current account) mencatat surplus sebesar US$ 1 miliar atau 0,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Hal ini menjadikan transaksi berjalan Indonesia berhasil mencatatkan surplus setelah selama 9 tahun mengalami defisit.

Surplus transaksi berjalan ditopang oleh surplus neraca barang seiring dengan perbaikan kinerja ekspor di tengah masih tertahannya kegiatan impor sejalan dengan permintaan domestik yang belum kuat.

Selain dari dalam negeri, sentimen positif dari global yang datang yakni kabar positif dari vaksin Covid-19 besutan Moderna, di mana pihak perseroan mengklaim berhasil membentuk antibodi di tubuh orang dewasa pada vaksin tersebut.

Moderna, perusahaan bioteknologi asal AS mengembangkan vaksin untuk Covid-19 dengan platform yang sama dengan vaksin besutan Pfizer dan BioNTech yang menggunakan molekul RNA.

"Kita akan memiliki vaksin yang dapat menghentikan Covid-19," kata Presiden Moderna Stephen Hoge dalam wawancara telepon dengan Reuters.

Analisis sementara Moderna didasarkan pada 95 infeksi di antara peserta uji coba yang menerima vaksin atau plasebo. Hanya lima infeksi terjadi pada sukarelawan yang menerima vaksin mRNA-1273, yang diberikan dalam dua suntikan dengan selang waktu 28 hari.

"Vaksin benar-benar cahaya di ujung terowongan," kata Dr. Anthony Fauci, pakar penyakit menular AS.

Pada pekan depan, sentimen yang harus diperhatikan oleh pelaku pasar adalah terkait masih melonjaknya kasus positif Covid-19 di dunia, terutama di Amerika Serikat (AS) dan Eropa.

Di tengah harapan vaksin yang merupakan sentimen positif di jangka menengah panjang, terjadi lonjakan kasus Covid-19 di beberapa Negara.

Di Amerika Serikat pekan ini terjadi kenaikan rata-rata mingguan 26% kasus di bandingkan pekan sebelumnya. Hal yang hampir sama terjadi di beberapa Negara Eropa mendorong potensi pertumbuhan ekonomi negatif di kuartal ke 4 tahun 2020.

Sebelumnya, Walikota New York, Bill de Blasio terpaksa menghentikan kembali pembelajaran tatap muka di kota tersebut. Centers for Disease Control and Prevention AS juga menghimbau kepada warga AS agar tidak bepergian untuk merayakan Thanksgiving.

Hal yang hampir sama terjadi di beberapa negara Eropa mendorong potensi pertumbuhan negatif di kuartal keempat tahun 2020. Peningkatan langkah penguncian ekonomi dapat mengganggu proses pemulihan ekonomi dan menjadi sentimen negatif bagi pasar saham Dunia.

Terbaru, pada Sabtu (21/11/2020), Johns Hopkins University (JHU) melaporkan 195.542 kasus Covid-19 terdeteksi di wilayah AS dalam waktu 24 jam terakhir. Angka ini mengalahkan rekor tertinggi sebelumnya pada Kamis (19/11/2020) waktu setempat (AS).

Secara lebih rinci, menurut data JHU, total 11.910.906 kasus Covid-19 saat ini tercatat di wilayah AS. JHU menyebut adanya tambahan 1.878 kematian dalam sehari di AS. Dengan demikian, total kematian akibat Covid-19 saat ini di AS mencapai 254.413 orang.

Selain itu, pelaku pasar juga masih mengamati perkembangan masalah antara The Fed dan Departemen Keuangan terkait program kredit bantuan pandemi.

Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin mengatakan program kredit bantuan pandemi sebesar US$ 455 miliar yang dialokasikan musim semi lalu di bawah undang-undang CARES harus dikembalikan ke Kongres untuk dialokasikan kembali sebagai hibah untuk perusahaan kecil.

Program ini dianggap penting bagi bank Sentral dan bila dihentikan akan berdampak tidak baik bagi perekonomian. Ketika kasus infeksi baru covid-19 meningkat diikuti pembatasan kegiatan sosial dapat mendorong gelombang PHK baru dan perlambatan pemulihan ekonomi.

Pasar juga mengamati data ekonomi yakni data Purchasing Manager' Index (PMI) periode November yang akan dirilis di beberapa negara, terutama di kawasan Eropa dan Amerika Serikat.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular