
Gegara Eropa Lockdown Lagi, Pemulihan Ekonomi Jadi Buyar!

Lockdown yang kembali diterapkan tentunya akan menghambat pemulihan ekonomi Eropa. Sebagai negara-negara yang berorientasi ekspor, sektor manufaktur menjadi penting dalam mendongkrak pertumbuhan pertumbuhan ekonomi.
Inggris misalnya, sektor manufakturnya berkontribusi sebesar 17% terhadap PDB. Markit melaporkan purchasing manager index (PMI) di bulan Oktober sebesar 53,7 di bulan Oktober.
PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di atas 50 berarti ekspansi, sementara di bawahnya berarti kontraksi.
Memang aktivitas manufaktur Inggris masih menunjukkan ekspansi di bulan Oktober, tetapi sudah melambat ketimbang bulan sebelumnya 54,1. Selain itu, lockdown belum diterapkan bulan lalu, baru pada bulan November, sehingga masih belum diketahui apakah industri pengolahan masih berekspansi atau kembali berkontraksi.
Data PMI manufaktur Inggris baru akan dirilis 2 pekan ke depan. Tetapi, pelambatan ekspansi sepertinya sudah pasti, tinggal seberapa dalam, atau bahkan kembali berkontraksi.
Di pekan depan, Inggris akan melaporkan data penjualan ritel bulan Oktober. Hasil survei Reuters menunjukkan penjulan ritel diprediksi tumbuh 0,1% month-on-month (MoM) turun jauh dari bulan sebelumnya yang tumbuh 1,5%. Sementara secara tahunan, penjulan ritel diprediksi tumbuh 4,1% YoY, juga melambat dari sebelumnya 4,7% YoY.
Melambatnya pertumbuhan penjualan ritel tersebut menjadi sinyal pertumbuhan PDB akan melambat lagi di kuartal IV-2020. Penjualan ritel Inggris berkontribusi sebesar 5% terhadap PDB.
Sama dengan Inggris, PMI manufaktur zona euro untuk bulan November baru akan dirilis dua pekan ke depan. Sehingga belum diketahui bagaimana kinerjanya selama lockdown jilid II. Tetapi berkaca dari lockdown jilid I, pasti akan ada tekanan, sehingga mempengaruhi pemulihan ekonomi blok 19 negara tersebut.
Pada bulan April lalu, PMI zona euro mengalami kontraksi tajam, menyentuh angka 33,4, dan baru bisa berekspansi kembali pada bulan Juni. Meski demikian, kontraksi di bulan April dan Mei tersebut sudah cukup membawa PDB zona euro berkontraksi 11,8%, menjadi yang terburuk sepanjang sejarah. Oleh karena itu, jika PMI manufaktur kembali berkontraksi, maka perekonomian terancam nyungsep lagi.
Terhambatnya pemulihan ekonomi Eropa sepertinya sudah diantisipasi oleh bank sentralnya. Bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) pada Kamis 5 Oktober lalu mengumumkan menambah nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) sebesar 150 miliar poundsterling (Rp 2.820 triliun, kurs Rp 18.800/GBP), menjadi total 895 miliar poundsterling.
Tambahan stimulus tersebut lebih banyak 50 miliar poundsterling ketimbang prediksi Reuters. Dengan tambahan tersebut, BoE mengatakan cukup untuk melakukan pembelian aset hingga akhir 2021.
Sementara itu Bank Sentral Eropa (European Central Bank/ECB) juga memberikan indikasi akan menggelontorkan stimulus moneter tambahan di akhir tahun ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)[Gambas:Video CNBC]