
Perhatian! Morgan Stanley Ungkap Potensi Cuan Bursa RI 2021

Jakarta, CNBC Indonesia - Morgan Stanley menilai pasar saham Asia, di luar Jepang (AxJ) akan memasuki periode yang sangat bersahabat pada 2021 mendatang. Morgan Stanley menyebutnya dengan istilah periode 'Goldilock', dan Indonesia menjadi satu negara yang masuk periode tersebut yang diuntungkan oleh kebijakan The Fed dan ketersediaan vaksin.
Periode Goldilocks biasarnya diartiikan suatu keadaan perekonomian yang tidak overheat (sehingga tidak mengundang inflasi), tapi tidak dingin (yang bisa menyeret kepada resesi). Artinya iklim yang pas untuk peluang investasi.
Ekonom Asia Morgan Stanley Deyi Tan menyebutkan periode goldilocks ini merupakan kombinasi dari akselerasi pertumbuhan di atas trem, inflasi yang meningkat dan adanya pelonggaran kebijakan besar-besaran.
Dari sisi perbankan dan strategi investasi saham, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan terjadi dengan meningkatkan kredit investasi dalam periode 1-2 kuartal ke depan.
"Kami mengharapkan penerima manfaat langsung dari Omnibus Law adalah properti/kawasan industri, teknologi, industri padat karya, seperti tekstil/tembakau dan infrastruktur. Bank akan mendapatkan keuntungan secara tidak langsung sebagai pemodal dari pertumbuhan ini," jelas Tan dalam riset Morgan Stanley, dikutip Jumat (13/11/2020).
Selain karena adanya deregulasi di dalam negeri, pendorong pertumbuhan Indonesia di tahun depan adalah ekonomi digital yang sedang berkembang dan peningkatan kerja sama dengan China.
Ketiga sentimen tersebut dinilai dapat mendorong reformasi struktural di dalam negeri setelah risiko Covid-19 telah tertanggulangi yang diharapkan dapat terjadi setelah dilakukannya vaksinasi Covid dilakukan.
"Kami mengharapkan pemulihan siklus, ditandai dengan membaiknya tren data frekuensi [perdagangan] yang tinggi, bersamaan dengan pelonggaran likuiditas global yang diharapkan memicu rebound pasar, di tengah rendahnya kepemilikan asing di saham Indonesia," tulis riset tersebut.
Sentimen positif lainnya, menurut Morgan Stanley, terhadap pasar saham Indonesia adalah pasar komoditas yang saat ini telah bergeser dari tren batu bara ke nikel. Indonesia diuntungkan lantaran menjadi produsen nikel terbesar di dunia.
Selama ini, ekspor batu bara menjadi penyumbang utama pertumbuhan Indonesia, terutama selama periode super-cycle komoditas pada tahun 2010-2013. Namun sayangnya periode ini telah mengalami perlambatan, seiring dengan banyak negara di dunia mendorong penurunan penggunaan karbon dalam perekonomiannya.
Namun demikian, nikel berpotensi menjadi pendorong pertumbuhan baru di segmen komoditas. Indonesia memiliki cadangan bijih nikel terbesar di dunia, dengan kualitas yang sesuai untuk digunakan dalam EV battery.
Sepanjang 2014-2019 produksi nikel Indonesia meningkat 36%, atau 32% dari pangsa pasar global, menurut Wood Mackenzie. Hal ini didorong adanya percepatan investasi dalam produksi dan peleburan nikel oleh PT Vale Indonesia Tbk (INCO) dan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM).
Investasi China untuk nikel di Indonesia juga tercatat naik signifikan. Tsingshan dan Delong berinvestasi ke industri ini pada akhir 2015 yang meningkatkan produksi. Tercatat terjadi pertumbuhan 5,1% secara global pada 2014 menjadi 19,4% pada 2019.
"Kami mewaspadai ketergantungan yang berlebihan pada komoditas sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi, dengan memperhatikan gangguan yang ditimbulkan pada 2013-14, di mana pertumbuhan PDB riil melambat dari lebih dari 6% pada awal 2010-an menjadi 5% sejak 2013."
"Namun menurut kami nikel akan menjadi penggerak pasar komoditas dalam jangka menengah yang akan menjadi pendukung bagi Indonesia," tulis Morgan Stanley.
Dari sisi pasar saham, indeks MSCI Indonesia secara year to date (ytd) telah turun 26%, sedangkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun 22%. Angka ini menunjukkan kinerja terburuk sepanjang tahun dari pasar saham AxJ.
Sedangkan net sell asing mencapai US$ 4,1 miliar ytd, empat kali lebih besar dari posisi full year 2019 yang senilai US$ 1,1 miliar. Nilai ini praktis meniadakan net buy yang terjadi sejak 2007. Kepemilikan asing atas saham-saham utama Indonesia secara bersamaan turun sebanyak 26 ppt sejak 2017.
Namun seiring dengan terjadinya perbaikan konsumsi yang ditunjukkan oleh konsumsi semen dan kendaraan roda empat serta membaiknya Purchasing Managers Index (PMI), Morgan Stanley menargetkan IHSG akan berada pada posisi 5.909 pada Juni 2021.
Target tersebut berdasarkan earning per share (EPS) Rp 426 di 2021 dan Rp 490 di 2022 dengan target price to earning ratio (PER) 12,9x.
"Namun demikian, kami mengantisipasi volatilitas yang lebih rendah di tengah kejelasan kemajuan reformasi struktural di Indonesia."
Namun demikian, terdapat beberapa kondisi yang perlu diperhatikan dari target tersebut. Seperti stagnannya pelaksanaan omnibus law karena regulasi turunan yang belum rampung.
Kemudian pemerintah tak memberikan lingkungan yang memadai untuk pertumbuhan perusahaan teknologi dalam negeri, terutama unicorn untuk mendominasi pasar.
Terakhir adalah meningkatnya ketegangan geopolitik antara Indonesia dan China dalam memperebutkan wilayah perairan Natuna, meski potensi ini telah menurun sejak awal 2020.
(hps/hps)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article BEI Ungkap Alasan Morgan Stanley 'Cabut' dari Pasar Saham RI
