
BBRI & BBCA: Siap-siap Harga Tembus Level Awal Tahun Gaes!

Jakarta,CNBC Indonesia - Tak bisa dipungkiri sektor perbankan memang menjadi salah satu sektor yang sedang berjuang pada tahun 2020 ini. Meski tahun ini memang bukan tahun yang baik bagi pasar modal, sektor perbankan harus bekerja ekstra keras dibandingkan dengan sektor lain karena terkena pukulan ganda.
Pukulan pertama dan tentunya datang dari serangan Covid-19. Di tengah ketidakpastian ekonomi akibat pandemi tentunya memicu tingkat utang pada debitur yang berpotensi gagal bayar dan akan memperkeruh angka kredit bermasalah alias Non-Performing Loan (NPL).
Selain itu pemberian kredit yang merupakan urat nadi laba perbankan juga akan terhambat karena dampak virus nCov-19 membuat perusahaan yang mampu bertahan ragu dalam berekspansi, dan daya beli masyarakat tergerus yang menyebabkan kredit korporasi dan kredit konsumsi terganggu.
Ditambah lagi perbankan melakukan restrukturisasi kredit bagi nasabah yang terdampak Covid-19.
Selain dari virus corona yang menyerang segala sektor, pukulan kedua yang spesifik untuk sektor perbankan datang dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Seperti kita ketahui mulai tahun 2020 ini perbankan diharuskan oleh OJK untuk menerapkan standar akuntansi baru PSAK 71.
Standar yang mengacu kepada International Financial Reporting Standard (IFRS) 9 ini menggantikan PSAK sebelumnya yakni PSAK55.Dalam PSAK baru ini, poin utamanya ialah pencadangan atas penurunan nilai aset keuangan berupa piutang, pinjaman, atau kredit.
Dengan aturan baru ini, perbankan harus menyediakan cadangan kerugian atas penurunan nilai kredit (CKPN) bagi semua kategori pinjaman, baik yang kredit lancar (performing), ragu-ragu (underperforming), maupun macet (non-performing). Kondisi ini tentu dinilai akan memberikan pencadangan yang lebih besar dari sebelumnya.
Dengan diberlakukanya PSAK 71, aturan pencatatan baru ini akan sangat mempengaruhi laba bank, karena kategori pinjaman akan turun dan pencadangan akan naik.
Hal inilah yang menyebabkan bahkan sebelum diserang pandemi virus corona, banyak pihak yang beranggapan bahwa tahun 2020 bukanlah tahun yang baik bagi sektor perbankan karena laba perbankan akan tergerus.
Apalagi ditambah dengan kehadiran virus corona yang tentunya akan mengamplifikasi tingkat pencadangan dan menekan laba bersih.
Dua Jawara
Meskipun sektor perbankan menjadi salah satu sektor yang babak belur diserang pandemi corona, siapa sangka ada dua saham di sektor perbankan besar yakni bank BUKU (bank umum kelompok usaha) IV (bank dengan modal inti di atas Rp 30 Triliun) yang memiliki kinerja saham cukup mumpuni.
Adalah bank dengan kapitalisasi pasar terbesar di Bursa Efek Indonesia (BEI) yakni PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dan bank dengan total aset terbesar di BEI yakni PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) yang menjadi perbankan besar dengan koreksi paling tipis di BEI.
Secara tahun berjalan saham BBCA hanya terkoreksi 2,17% hingga perdagangan Rabu kemarin (11/11/2020).
Mengingat tahun 2020 masih menyisakan sekitar 1,5 bulan, ditambah sentimen positif yang sering datang pada akhir tahun yakni window dressing dan santa claus rally, maka sangat masuk akal bila para pelaku pasar berekspektasi kinerja harga BBCA akan mampu tumbuh pada tahun 2020. Ekspektasi ini ada meskipun ada serangan pandemi corona, mengingat laba BCA selama 9 bulan terakhir yang 'hanya' turun 4,2% YoY.
Hingga kuartal III-2020 atau 9 bulan tahun ini, laba bank milik Grup Djarum ini turun 4,2% menjadi Rp 20,04 triliun. Pada periode yang sama tahun lalu BCA membukukan laba bersih Rp 20,9 triliun.
Apabila sukses menembus level awal tahun-nya maka tentunya mata investor akan langsung tertuju ke level tertinggi sepanjang masanya alias all time high (ATH) di angka Rp 35.300.
Level yang dicatatkan BBCA pada 15 Januari 2020 sesaat sebelum virus corona merebak menjadi pandemi ini hanya terpaut jarak 2.600 perak lagi atau 7,95%.
Jadi wajar jika para investor berspekulasi bahwa tidak lama lagi BBCA akan kembali menembus level ATH-nya.
Nasib yang serupa juga di alami oleh BBRI.
Saham perbankan Pelat Merah ini berhasil reli selama 5 hari beruntun ini sebanyak 25,22%.
Selain karena sentimen umum yakni kesuksesan efektivitas vaksin Covid-19 dari Pfizer yang mencapai 90% dan sentimen khusus untuk saham BBRI di mana muncul rumor bahwa akan muncul aksi korporasi raksasa di tubuh BBRI.
Menteri BUMN, Erick Thohir, selaku pemegang saham mayoritas di BRI sebagai perwakilan Pemerintah Indonesia pernah memberikan petunjuk mengenai arah pengembangan BRI ke depan.
Hal ini disampaikan Erick saat menjadi pembicara dalam acara CNBC Indonesia Economic Outlook pada Februari 2020. Erick mengatakan, Kementerian BUMN akan mensinergikan BRI dengan Pegadaian dan Permodalan Nasional Madani (PNM).
"Kami sudah rapat dengan BRI, kami ingin memastikan Juni ini terjadi sinergi yang luar biasa dengan Pegadaian [PT Pegadaian] dan PMN [PT Permodalan Nasional Madani). Jadi jelas, tidak ada lagi overlapping kebijakan di situ, dan target market-nya jelas, ini kalau terjadi, BRI akan jadi bank luar biasa. Cepat-cepat beli sahamnya!" ujar Erick saat itu.
Posisi saat ini BBRI masih terkoreksi 6,36% secara tahun berjalan akan tetapi koreksi ini bisa tiba-tiba menghilang dan berubah menjadi apresiasi apabila kejelasan aksi korporasi BBRI ini sudah muncul.
Bahkan apabila memang nantinya aksi korporasi ini memang akan sebesar yang dijanjikan oleh Erick Thohir maka bukan tidak mungkin level tertinggi sepanjang masanya di angka Rp 4.760/unit yang masih berjarak 15,53% dari posisi saat ini, akan terlampaui dalam waktu dekat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(trp)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pasca libur Lebaran, IHSG Rontok 4,42% ke Bawah 7.000