Danger! Biden Effect Bawa Rupiah Super Kuat, Ada Bahayanya

Herdaru P, CNBC Indonesia
09 November 2020 14:48
Presiden terpilih Joe Biden

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus menguat di perdagangan pasar spot hari ini, setelah melesat nyaris 3% sepanjang pekan lalu.

Pada Senin (9/11/2020), US$ 1 dibanderol Rp 14.070/US$ di pasar spot. Rupiah menguat 0,85% dibandingkan dengan penutupan perdagangan terakhir pekan lalu. Sebelumnya rupiah sempat menguat 0,99% ke Rp 14.050/US$.

Sayangnya, ada beberapa hal yang harus dicermati terkait rupiah yang super power menguatnya ini.

Ekonom Bahana, Satria Sambijantoro mengatakan pada dasarnya rupiah ini adalah mata uang yang paling tidak stabil.

"Kita belajar dari pengalaman bahwa mata uang rupiah selalu menjadi yang paling tidak stabil saat ada perubahan sentimen, baik dalam situasi "risk-on" maupun "risk-off"," papar Satria, Senin (9/11/2020).

"Hal ini berarti BI harus menjaga stabilitas nilai tukar dengan berani untuk mencegah overshooting ke atas maupun ke bawah. Jika rupiah dan obligasi negara menguatnya terlalu cepat, maka melemahnya pun akan cepat," imbuhnya.

Satria mengatakan, Bank Indonesia bisa melakukan stabilisasi seperti menjual obligasi (menstabilkan penurunan yield) dan menyerap likuiditas valas (mengerem penguatan rupiah). Tapi satu instrumen yang paling efektif sebenarnya adalah suku bunga.

"BI seharusnya berani untuk mensinyalkan penurunan bunga lebih besar daripada yang diantisipasi pasar."

Menurutnya lebih jauh, Indonesia memiliki "funding costs" yang tertinggi di regional, terlihat dari suku bunga bank dan obligasi negara. Jika bunga perbankan sulit turun, seharusnya inisiatif bisa dimulai dari pasar obligasi.

"Jika imbal hasil obligasi turun. Maka suku bunga perbankan akan mengikuti."

"Mengapa? Karena dua hal ini adalah substitusi. Jika suku bunga bank terlalu mahal, maka akan ditinggalkan karena perusahaan bisa menarik dana untuk ekspansi di pasar obligasi," papar Satria.

Dan dari sisi obligasi, Satria melanjutkan risiko asing keluar jika bunga acuan BI diturunkan agresif sangat minimal. Saat ini asing hanya 28% dari kepemilikan obligasi di pasar sekunder, turun dari 40%.

"Betul, jika suku bunga terus dipertahankan tinggi, mungkin akan lebih menarik bagi asing. Tapi ini mengulang kesalahan Indonesia dulu karena bergantung pada investasi "hot money" di pasar portfolio, yang sebenarnya tidak bagus juga untuk jangka menengah-panjang," tegasnya.

Di tengah "risk-on" sentimen pasca pemilu AS, seharusnya suku bunga diturunkan bukan dipertahankan. Apalagi neraca transaksi berjalan sedang surplus dan pertumbuhan kredit sedang minus.

"Jika suku bunga dipertahankan tetap tinggi untuk menarik dana asing, lalu kepemilikan asing di pasar SBN negara kembali ke 35-40% lagi, kita akan kembali ke masa lalu dimana rupiah sangat rapuh karena sangat didikte akan sentimen global. Biaya sterilisasi operasi moneter BI, dalam hal ntervensi pasar, juga akan sangat besar."

Halaman Selanjutnya >> Ramalan Rupiah

Ekonom Bank Mandiri, Andry Asmoro mengungkapkan dampak terhadap perekonomian Indonesia mungkin lebih bersumber dari volatilitas di pasar keuangan akibat kemungkinan berlanjutnya ketegangan perdagangan antara AS dan China.

Selain itu, jika pertumbuhan China atau AS terpengaruh, hal itu juga dapat berdampak negatif terhadap ekspor karena China dan AS adalah tujuan ekspor terbesar RI.

"Sisi baiknya, ketegangan yang masih ada dapat menyebabkan perusahaan multinasional melanjutkan rencana realokasi dari China ke Asia yang sedang berkembang, yang akan memberikan peluang bagi Indonesia untuk menarik dan meningkatkan investasi ke negara tersebut," jelas Andry.

Terlepas dari kebijakan perdagangan AS yang lebih bermusuhan yang diadopsi sejak kepresidenan Trump, hubungan perdagangan Indonesia dengan AS masih di tempat yang baik.

Baru-baru ini, Perwakilan Dagang AS (USTR) telah menyetujui untuk memperpanjang fasilitas perdagangan yaitu pengecualian tarif impor khusus yang disebut Generalized System of Preferences (GSP) untuk Indonesia setelah 2,5 tahun evaluasi dan proses lobi yang mengamankan aliran sekitar 13% ekspor Indonesia ke Amerika Serikat.

"Oleh karena itu, dalam pandangan kami, perkembangan global akhir-akhir ini akan berdampak positif bagi Rupiah dalam jangka pendek, yang juga didukung oleh surplus perdagangan yang berturut-turut dalam beberapa bulan terakhir. Dalam jangka menengah akan lebih bergantung pada hal-hal yang fundamental, yaitu Defisit Transaksi Berjalan dan arus investasi. Pada titik ini, kami tetap yakin dengan perkiraan kami di Rp 14.296/US$ pada akhir tahun 2020," papar Andry.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular