
Percaya Deh, Rupiah Perkasa Jika Biden Jadi Presiden Amerika!

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemilihan presiden (pilpres) di Amerika Serikat (AS) sudah di depan mata. Perhatian pelaku pasar tentunya tertuju pada siapa yang akan menjadi orang nomor 1 di Negeri Adikuasa. Maklum saja, segala macam kebijakan yang diambil pemerintah AS tidak hanya berdampak di negaranya, tetapi bisa berdampak secara global, khususnya di pasar finansial.
Pasar finansial Indonesia tentu saja juga terkena dampaknya, reaksi pasar terhadap siapa yang memenangi pilpres kali ini tentu saja akan berbeda.
Pilpres kali ini mempertemukan antara petahana dari Partai Republik, Donald Trump, dan penantangnya dari Partai Demokrat, Joseph 'Joe' Biden, yang juga merupakan mantan wakil presiden era Presiden Barrack Obama 2009-2017.
Seandainya Trump kembali memenangi pemilu kali ini, tentunya tidak akan ada perubahan signifikan dari kebijakan yang diterapkan saat ini. Perang dagang dengan China misalnya, masih akan tetap berkobar. Kemudian, dari segi perpajakan tentunya tidak akan berubah, setelah dipangkas pada periode pemerintahannya saat ini.
Sementara jika lawannya, Joe Biden, yang memenangi pilpres, bisa dipastikan akan ada perubahan kebijakan. Perang dagang dengan China kemungkinan tidak akan berkobar lagi, sementara pajak kemungkinan akan dinaikkan.
Melihat kemungkinan kebijakan yang akan diambil, kemenangan Biden akan lebih menguntungkan bagi Indonesia. Sebab, perang dagang dengan China kemungkinan akan berakhir.
Seperti diketahui, perang dagang AS-China yang dikobarkan oleh Presiden Trump sejak tahun 2018 membuat perekonomian global mengalami pelambatan signifikan, termasuk juga pertumbuhan ekonomi Indonesia yang melambat.
Melansir data Refinitiv, di tahun 2018 saat perang dagang berkobar, rupiah mengalami pelemahan sekitar 6% melawan dolar AS di Rp 14.375/US$. Bahkan, pada Oktober 2018, rupiah sempat menyentuh level Rp 15.230/US$ atau melemah lebih dari 12% secara year-to-date (YtD).
Jika dilihat lebih ke belakang, rupiah langsung KO setelah Donald Trump memenangi pilpres di pada 8 November 2016. Saat itu, kurs rupiah berada di level Rp 13.083/US$, setelahnya langsung merosot di akhir November berada di level Rp 13.550/US$ atau merosot sekitar 3,5%.
Sejak saat itu, rupiah tidak pernah lagi mencapai level Rp 13.000/US$.
Selain berakhirnya perang dagang, jika Biden dan Partai Demokrat akhirnya berkuasa, pajak korporasi di AS akan dinaikkan. Hal itu justru berdampak bagus bagi Indonesia, sebab berpotensi membuat para investor akan mengalirkan modalnya ke negara emerging market.
Kemudian, dari segi stimulus fiskal, Biden tentunya akan menggelontorkan dengan nilainya lebih besar ketimbang Trump dan Partai Republik.
Nancy Pelosi, ketua House of Representative (DPR) dari Partai Demokrat sebelumnya mengajukan stimulus fiskal dengan nilai US$ 2,2 triliun, yang tidak disepakati oleh Pemerintahan Trump, dan ditolak oleh Partai Republik.
Semakin besar stimulus artinya semakin banyak uang yang beredar di perekonomian, secara teori dolar AS akan melemah. Belum lagi jika Indonesia kecipratan capital inflow akibat stimulus tersebut, tentunya rupiah akan semakin perkasa.
Hasil riset JP Morgan yang dirilis pada 29 Oktober lalu juga menunjukkan negara-negara emerging market akan diuntungkan jika Biden menjadi orang nomor 1 di Negeri Paman Sam. Sebab kebijakan perdagangan yang diambil dikatakan tidak impulsif.