
Bos BI Ungkap 'Penyakit' Credit Crunch Perbankan Saat Pandemi

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) melaporkan, sejak awal tahun hingga akhir Oktober (year to date), telah melakukan injeksi likuiditas ke perbankan atau quantitative easing (QE) mencapai Rp 670 triliun. Gubernur BI Perry Warjiyo secara terang-terangan menyebut telah terjadi adanya credit crunch.
Apa itu credit crunch? Credit crunch adalah keengganan perbankan menyalurkan kredit karena tidak ada permintaan. Jika dipaksa memberikan kredit, kemungkinan akan berdampak pada kredit macet dan memunculkan masalah likuiditas pada 2021.
Injeksi yang sudah dilakukan BI sampai dengan Oktober tersebut diketahui naik Rp 2,4 triliun dari yang sebelumnya telah dilaporkan dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) pekan lalu yang mencapai Rp 667,6 triliun.
Kendati demikian, Gubernur BI Perry Warjiyo tidak merinci bentuk dari suntikan dana tersebut, apakah melakukan injeksi likuiditas melalui pembelian surat berharga negara (SBN) dari pasar sekunder. Atau penyediaan likuiditas ke perbankan dengan mekanisme term repurchase agreement (repo), atau melalui penurunan giro wajib minimum (GWM).
Perry mengakui, perbankan lebih selektif dalam menyalurkan kredit, karena dibayangi oleh permasalahan persepsi risiko yang tinggi. Sehingga bank enggan untuk menyalurkan kredit atau biasa disebut dengan istilah credit crunch.
"Injeksi likuiditas kurang lebih Rp 670 triliun atau mencapai 4% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Adanya masalah persepsi risiko tinggi, sehingga bank-bank milih-milih [salurkan kredit]," kata Perry dalam webinar Gerakan Pakai Masker, Rabu (28/10/2020).
Salah satu alasan yang membuat bank enggan melakukan menyalurkan kredit ke dunia usaha, kata Perry, disebabkan karena aktivitas ekonomi dunia usaha belum kembali normal. Hal itu menimbulkan adanya credit crunch.
Dalam mengatasi persoalan credit crunch, menurut Perry, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kini telah memperpanjang restrukturisasi kredit hingga Maret 2022. Hal itu untuk menyeimbangkan antara permintaan dan akses kredit.
"Dunia usaha sektor yang saya sebut perlu demand for kredit dan matching ini atasi credit crunch dan asimetris informasi itu penting. Kemudian Ketua OJK, Pak Wimboh Santoso sudah memperpanjang program restrukturisasi kredit sehingga memberikan nafas bagi dunia usaha dan perbankan untuk atasi tadi," kata Perry.
Ekonom Senior sekaligus Menteri Keuangan RI (periode 2013-214) Chatib Basri juga sebelumnya, pernah menyinggung soal permasalahan perbankan. Dia bilang persoalan perbankan bukanlah soal likuiditas, tapi karena sektor riil yang lesu. Karena tidak ada gunanya apabila likuiditas ditambah, tapi permintaan kredit nihil atau tidak ada.
"[...] Karena persoalan perbankan adalah credit crunch [krisis kredit] bukan likuiditas," ujar Chatib.
Sehingga menurut dia, yang paling penting untuk memulihkan ekonomi adalah dengan menciptakan permintaan kredit. Kebijakan suku bunga acuan juga akan efektif untuk mendorong permintaan kredit.
"BI turunkan suku bunga itu sesuatu yang useful. Tapi kalau pun bunga diturunkan, orang enggak akan minta kredit kalau permintaannya tidak ada. Jadi yang harus pertama kali dilakukan adalah menciptakan permintaannya," kata Chatib.
(miq/miq)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Janji BI di 2021: Bunga Akan Terus Rendah!