Kondisi Trump Mengkhawatirkan? Rupiah Dalam Bahaya Nih

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
04 October 2020 13:40
Uang Edisi Khusus Kemerdekaan RI ke 75 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)
Foto: Uang Edisi Khusus Kemerdekaan RI ke 75 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah menguat tipis 0,1% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.830/US$ sepanjang pekan ini. Penguatan rupiah seharusnya bisa lebih besar lagi, mengingat dolar AS sebenarnya sedang lesu.

Namun, Presiden AS Donald Trump yang terpapar virus corona membuat penguatan rupiah jadi terpangkas. Bahkan terancam melemah lagi pekan depan, sebab salah satu sumber yang dikutip CNBC International menyebutkan 48 jam ke depan akan menjadi masa kritis bagi Presiden Trump.

Melansir data Refinitiv, sepanjang pekan ini rupiah sempat membukukan penguatan tiga hari beruntun meski penguatannya tidak besar, masing-masing 0,3% pada Selasa dan Rabu, serta 0,13% di hari Kamis. Pada perdagangan Jumat, rupiah menunjukkan kinerja menjanjikan di awal perdagangan sebelum berbalik arah setelah Trump mengumumkan terpapar penyakit akibat virus corona (Covid-19).

Presiden Trump melalui akun Twitternya mengumumkan dirinya dan ibu negara Melania Trump positif terpapar virus corona.

"Malam ini, Ibu negara dan saya dites dan positif Covid-19. Kami akan segera memulai proses karantina dan pemulihan kami. Kami akan melewati ini Bersama!" tutur Trump dalam social media Twitternya, Jumat (2/10/2020).

Pengumuman tersebut sempat membuat indeks Dow Jones futures merosot hingga 400 poin, artinya sentimen pelaku pasar memburuk dan dolar AS kembali menjadi sasaran investasi. Indeks dolar AS yang sebelumnya merosot 4 hari beruntun langsung menguat 0,34% ke 94,031 Jumat siang. Alhasil, rupiah akhirnya terpukul lagi.

Sebelum Trump terpapar Covid-19, sentimen pelaku pasar sebenarnya sedang bagus di pekan ini yang membuat aset-aset berisiko menguat dan dolar AS merosot selama empat hari beruntun. Tetapi, keadaan langsung berbalik, kondisi kesehatan presiden AS ke-45 tersebut membuat pelaku pasar cemas, apalagi dengan pemilihan presiden AS yang akan berlangsung bulan depan, tentunya menimbulkan ketidakpastian yang tinggi.

Ketika ketidakpastian meningkat, pelaku pasar akan bermain aman, mengalihkan investasinya ke aset-aset safe haven seperti dolar AS.

Kondisi Presiden Trump yang dirawat di Rumah Sakit Walter Reed dikabarkan sudah mulai membaik, oleh dokter kepresidenan, dr. Sean Conley, Sabtu waktu setempat.

"Saat ini, saya dan tim sangat senang melihat perkembangan kesehatan presiden," kata Conley sebagaimana dilansir CNBC International.

"Pada hari Kamis ia menderita batuk ringan dan hidung mampet serta kelelahan. Sekarang semuanya sudah diatasi dan kondisinya membaik," tambahnya,
Tetapi pernyataan Conley berbeda dengan seorang sumber dari Gedung Putih.

"Kondisi vital presiden dalam 24 jam terakhir sangat mengkhawatirkan, dan 48 jam ke depan menjadi sangat penting dalam hal perawatannya," kata sumber tersebut kepada beberapa wartawan yang sering ikut berpergian dengan Presiden Trump.

"Kita belum berada pada posisi penyembuhan total," kata sumber tersebut sebagaimana dilansir CNBC International.

Masih belum jelasnya kondisi Presiden Trump tentunya membuat dolar AS akan kembali menjadi target investasi, dan posisi rupiah menjadi terancam pada pekan depan. 

Kinerja rupiah belakangan ini memang kurang menggembirakan. Sepanjang kuartal III-2020 rupiah membukukan pelemahan 4,65%, dan menjadi mata uang dengan kinerja terburuk di Asia, saat mata uang utama lainnya mampu menguat. Hanya baht Thailand yang menjadi "teman" rupiah yang juga melemah di kuartal lalu, meski pelemahannya jauh lebih rendah.

Tren penambahan kasus penyakit akibat virus corona (Covid-19) yang terus menanjak hingga saat ini, memberikan terkanan bagi rupiah. Bahkan, penambahan kasus perharinya masih cenderung tinggi.

Akibat tren penambahan kasus yang masih menanjak, kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) terus berlangsung di beberapa wilayah di Indonesia. Di DKI Jakarta, sebagai pusat perekonomian Indonesia bahkan kembali menerapkan PSBB yang lebih ketat dalam tiga pekan terakhir.

Alhasil, roda bisnis berputar dengan lambat, dan perekonomian Indonesia pasti mengalami resesi di kuartal III, hanya seberapa dalamnya yang masih menjadi misteri. Di kuartal II-2020 lalu, perekonomian Indonesia minus 5,32% year-on-year (YoY).

Perekonomian Indonesia terancam gagal bangkit di kuartal IV-2020 jika tren penambahan kasus Covid-19 belum mampu diredam, dan PSBB yang ketat terus berlangsung.

Hal tersebut membuat pelaku pasar saat ini mengambil posisi short (jual) terhadap rupiah. Hasil survei 2 mingguan Reuters menunjukkan posisi short tersebut naik nyaris 2 kali lipat dibandingkan 2 pekan lalu.

Survei dari Reuters tersebut menggunakan rentang -3 sampai 3. Angka positif berarti pelaku pasar mengambil posisi long (beli) terhadap dolar AS dan short (jual) terhadap rupiah. Begitu juga sebaliknya, angka negatif berarti mengambil posisi short (jual) terhadap dolar AS dan long (beli) terhadap rupiah

Hasil survei terbaru yang dirilis Kamis (1/10/2020) kemarin menunjukkan angka 0,61. Dua pekan lalu, hasil survei menunjukkan angka 0,39, berbalik cukup signifikan dibandingkan hasil survei sebelumnya -0,19. Sebelum angka negatif tersebut, dalam 4 survei sebelumnya dirilis positif.

Survei yang dilakukan Reuters tersebut konsisten dengan pergerakan di tahun ini. Selama periode aksi "buang" rupiah pada empat survei itu, Mata Uang Garuda mengalami pelemahan 2,68%. Sementara saat investor mengambil posisi long (beli) dengan angka survei -0,19, rupiah menguat tipis 0,07%.

Pada bulan Maret lalu, ketika rupiah mengalami gejolak, investor mengambil posisi short (jual) rupiah, dengan angka survei yang dirilis Reuters sebesar 1,57. Semakin tinggi nilai positif, semakin besar posisi short rupiah yang diambil investor.

Memasuki bulan April, rupiah perlahan menguat dan hasil survei Reuters menunjukkan posisi short rupiah semakin berkurang, hingga akhirnya investor mengambil posisi long mulai pada 28 Mei lalu. Alhasil rupiah membukukan penguatan lebih dari 15% sejak awal April hingga awal Juni.

Kini dengan investor kembali mengambil posisi jual, rupiah tentunya berisiko kembali melemah.

Hasil survei tersebut juga menunjukkan investor melakukan mengambil posisi jual rupiah akibat kekhawatiran akan revisi undang-undang BI, membuat bank sentral tidak lagi independen, dan rentan mengalami intervensi yang bersifat politis.

Bank investasi Societe Generale dalam sebuah catatan yang dikutip Reuters memprediksi rupiah akan menjadi mata uang dengan kinerja terburuk di Asia di semester II tahun ini. Sebagai aset dengan imbal hasil tinggi, rupiah masih akan dikalahkan oleh rupee India meski yield yang diberikan lebih rendah.

TIM RISET CNBC INDONESIA 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular