
Kuartal III: Batu Bara & CPO Terbang, Harga Minyak Rontok

Jakarta, CNBC Indonesia - Kuartal ketiga sudah berlalu, harga minyak sawit mentah dan batu bara meroket tajam di tiga bulan terakhir. Sementara itu harga minyak justru tertekan.
Pada periode Juli-September, harga CPO untuk kontrak yang aktif diperdagangkan menguat 16,63%. Harga CPO sempat melesat ke level tertinggi dalam delapan bulan terakhir di RM 3.080/ton.
Kenaikan harga tersebut membuat harga komoditas unggulan tersebut sempat pulih ke level sebelum pandemi Covid-19. Namun aksi ambil untung para trader dan berbagai kabar miring yang merebak seputar intrik politik di Negeri Jiran membuat harga minyak nabati tersebut anjlok.
Harga CPO sebenarnya terus berada pada tren kenaikan sejak bulan Mei yang bertepatan dengan pelonggaran lockdown di berbagai negara importirnya seperti Uni Eropa. Peningkatan ekonomi China serta pelonggaran di India juga memicu terjadinya kenaikan ekspor ke negara-negara tersebut.
Pada periode Januari-Mei ekspor minyak sawit dari produsen terbesar kedua di dunia itu anjlok 24% (yoy). Namun Dewan Minyak Sawit Malaysia (MPOC) optimis ekspor di kuartal ketiga mampu tumbuh 2,56% ke 4,56 juta ton seiring dengan membaiknya permintaan.
Secara tren, output akan naik di bulan September - November sebagai puncak musim produksi. Namun kurangnya tenaga kerja di sektor perkebunan sebanyak 30 ribu orang di Malaysia, anjloknya output di Indonesia akibat pemupukan yang lebih rendah dan kondisi musim kering panjang diperkirakan membuat kenaikan output kemungkinan tak signifikan, atau bahkan malah tertekan.
Untuk tahun 2020, MPOC memproyeksi total output minyak sawit Malaysia akan berada di angka 19,5 -19,6 juta ton. Proyeksi asosiasi produsen nabati India (IVPA) memperkirakan output Malaysia turun 3% dibanding tahun lalu menjadi 19,2 juta ton, sementara output Indonesia naik 3% menjadi 46,5 juta ton.
Beralih ke batu bara, komoditas ini sebenarnya mengalami tekanan harga yang terus berlanjut meski lockdown sudah dilonggarkan. Permintaan listrik terutama dari sektor industri yang masih lemah membuat permintaan batu bara tertekan.
Di sisi lain harga gas yang lebih murah dan berlimpah serta beralihnya konsumen ke sumber energi alternatif yang lebih ramah lingkungan membuat pangsa pasar batu bara tergerus.
Namun memasuki bulan September, harga batu legam ini mulai merangkak naik. Alasannya adalah beredarnya isu bahwa China akan melonggarkan kuota impornya lantaran pasokan domestik yang ketat dibarengi dengan kenaikan permintaan.
Ketatnya pasokan batu bara China membuat harga batu legam tersebut melonjak tinggi. Pada pekan terakhir bulan September harga batu bara termalberkalori 5.500Kcal/KgQinhuangdao dipatok sebesar RMB 599/ton atau US$ 87,91/ton.
Harga tersebut sudah berada di atas green zone yang merupakan target harga informal yang dipatok oleh pemerintah Negeri Tirai Bambu. Rentang harga tersebut merupakan level di mana perusahaan tambang dan utilitas masih bisa menjaga margin atau labanya.
Namun harga yang sudah terlampau sangat tinggi ini membuat minat impor batu bara lintas laut (seaborne) menjadi meningkat karena harganya lebih murah. Bayangkan saja untuk harga batu bara termal Newcastle spot pada Jumat pekan lalu (25/9/2020) dipatok di US$ 52,8/ton untuk kalori Kcal/Kg.
Hal ini juga yang membuat beredar isu bahwa China akan kembali melonggarkan kuota impornya. Tentu ini berdampak positif bagi harga batu bara yang sudah tertekan lama. Potensi kenaikan permintaan dan selisih (spread) yang terlampau lebar turut mengerek harga batu bara lintas laut.
Sentimen bullish juga muncul dari India. Reuters melaporkan kenaikan aktivitas industri terutama di wilayah Barat India membuat output pembangkit listrik berbahan bakar batu bara India meningkat 9,4% pada paruh pertama bulan September.
Berbeda dengan batu bara dan CPO, harga minyak mentah untuk kontrak yang aktif ditransaksikan justru malah melemah. Harga emas hitam tersebut melorot memasuki bulan kesembilan.
Kasus infeksi Covid-19 yang terus naik hingga tembus angka 30 juta dan 1 juta kematian membuat beberapa negara mulai memikirkan kembali langkah pembatasan yang akan diterapkan guna mengontrol wabah.
Di saat yang sama pasokan dari OPEC dan koleganya sudah dinaikkan karena hanya dipangkas 8% saja dari total output global mulai Agustus dari sebelumnya hampir 10% dari total output global pada Mei-Juni.
Kembali dibukanya blokade atas ladang minyak Libya juga menjadi sentimen negatif pemberat harga emas hitam. Sebelum ditutup, ladang minyak Libya bisa menghasilkan minyak sebanyak 1,2 juta barel per hari. Ketika ditutup produksinya turun drastis menjadi kurang dari 200 ribu barel per hari.
Dalam survei Reuters, 40 analis dan ekonom sekarang melihat permintaan global menyusut 8 juta-9,8 juta bpd tahun ini, relatif membaik dibandingkan konsensus 8 juta-10 juta bpd bulan lalu.
Namun mereka memangkas prospek harga minyak tahun ini, dengan rata-rata perkiraan untuk patokan minyak mentah Brent di US$ 42,48 per barel untuk tahun 2020 turun dari perkiraan rata-rata US$ 42,75 bulan lalu.
Prospek harga minyak mentah AS 2020 berada di US$ 38,70 per barel versus US$ 38,82 yang diperkirakan pada bulan Agustus.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Harga Minyak Turut Terguncang