Usai Ambles-amblesan, Harga CPO Terbang Lagi
Jakarta, CNBC Indonesia -Â Harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) Negeri Jiran menguat pada perdagangan hari ini Kamis (1/10/2020). Meski menguat harga CPOÂ masih berada dalam tekanan.
Pada 10.35 WIB, harga CPOÂ untuk kontrak pengiriman Desember 2020 di Bursa Malaysia Derivatif Exchange naik 1,8% ke RM 2.764/ton. Harga CPOÂ telah drop 10,2% dari level tertingginya bulan lalu di RM 3.080/ton.
Jika dihitung sejak Mei-September, maka harga CPOÂ telah naik tinggi. Harga CPOÂ yang sudah menguat membuat Pemerintah Indonesia kembali menerapkan bea ekspor sebesar US$ 3/ton untuk pengiriman Oktober. Hal ini dikarenakan harga patokan CPOÂ sudah di atas ambang untuk dikenakan pajak di US$ 750/ton.
Harga CPOÂ referensi Indonesia untuk pengiriman Oktober berada di US$ 768,98/ton. Harga ini lebih tinggi dari harga batas kena bea dan harga patokan bulan September yang berada di US$ 738/ton.
Harga mulai melorot memasuki minggu terakhir bulan September setelah menyentuh level tertinggi. Selain aksi ambil untung para trader jadi pemicunya, ada beberapa sentimen negatif yang berkembang di pasar.
Reuters melaporkan para pedagang di China mulai melikuidasi posisi mereka menjelang liburan Golden Week dari 1-8 Oktober. "Bursa Komoditas Dalian akan segera libur yang berarti tidak ada permintaan ekspor dari China selama satu minggu," kata seorang pedagang kelapa sawit yang berbasis di Kuala Lumpur.
Menambah sentimen negatif adalah mulai meningkatnya aktivitas pemanenan kedelai di AS. Berdasarkan data Departemen Pertanian AS, progress pemanenan kedelai sudah mencapai 20% sampai Senin pekan ini.
Progress tersebut lebih tinggi dari rata-rata pencapaian dalam lima tahun terakhir yang hanya 15% dan di atas konsensus yang dihimpun Reuters di angka 18%. Tambahan pasokan membuat harga minyak kedelai tertekan dan ikut menekan minyak nabati lainnya.
Meski terkoreksi parah belakangan ini akibat aksi ambil untung dan berbagai sentimen negatif, potensi risiko kenaikan harga CPO masih terbuka. Larangan aktivitas perkebunan, penyulingan dan industri hilir sawit di Sabah Malaysia berpotensi menyebabkan disrupsi rantai pasok.
Sabah sebagai negara bagian Malaysia yang menyumbang 25% dari total output sedang 'dikunci' setelah melaporkan adanya tambahan 1.000 kasus infeksi Covid-19 di wilayah tersebut.
Di sisi lain adanya potensi La Nina sampai Januari 2021 membuat potensi kenaikan output di musim puncak produksi September-November terancam. Pasalnya La Nina cenderung membuat curah hujan menjadi lebih tinggi. Cuaca ekstrem ini perlu diantisipasi mengingat bisa menambah dampak disrupsi rantai pasok juga.
TIM RISET CNBC INDONESIA
[Gambas:Video CNBC]