Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak menguat di perdagangan pasar spot pagi ini. Meski DKI Jakarta kembali mengetatkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mulai pekan depan, tetapi tarikan sentimen positif dari eksternal ternyata lebih kuat.
Pada Kamis (10/9/2020), US$ 1 setara dengan Rp 14.750 kala pembukaan pasar spot. Rupiah menguat 0,2% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Minat investor terhadap aset-aset berisiko sedang tinggi. Terbukti dari penguatan signifikan di bursa saham New York. Dini hari tadi waktu Indonesia, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup melonjak 1,6%, S&P 500 melesat 2,01%, dan Nasdaq Composite melejit 2,71%.
Harga saham-saham teknologi kembali meroket dan menjadi pendongrak Wall Street. Harga saham Apple naik, 3,99% Alphabet (induk usaha Google) menguat 1,55%, Amazon bertambah 3,77%, dan Facebook terangkat 0,94%.
Selain kebangkitan saham-saham teknologi, investor juga menyambut gembira kabar pengembangan vaksin AstraZaneca. Setelah sempat dihentikan, Financial Times mengabarkan uji coba akan kembali bergulir pekan depan.
Matt Hancock, Menteri Kesehatan Inggris, menilai penghentian sementara uji coba AstraZaneca yang berkolaborasi dengan Universitas Oxford tidak membuat upaya pengembangan vaksin mundur.
"Ini tergantung dari hasil investigasi mereka. Kejadian seperti ini bukan yang pertama," ujar Hancock dalam wawancara dengan Sky News.
Di sisi lain, dolar AS seperti sudah kehabisan 'bensin' setelah menguat berhari-hari. Pada pukul 07:32 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) melemah 0,05%.
Maklum, mata uang Negeri Paman Sam memang sudah menguat lumayan tajam. Sejak awal bulan ini, Dollar Index sudah melonjak 1,15%. Pasti akan datang saatnya investor akan mencairkan keuntungan.
Sentimen eksternal tersebut sejauh ini mampu menutup perkembangan yang terjadi di dalam negeri. Malam tadi, Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan mengumumkan 'rem darurat' kembali ditarik.
PSBB di ibu kota kembali diketatkan, tidak ada lagi PSBB Transisi. Mulai 14 September, warga Jakarta kembali disarankan untuk #dirumahaja.
"Kita bersepakat menarik 'rem darurat' dan kita akan menerapkan seperti arahan Bapak Presiden di awal wabah dahulu. Bekerja dari rumah, belajar dari rumah, dan usahakan beribadah juga dari rumah," kata Anies.
PSBB total tentu akan berdampak kepada aspek ekonomi. Saat perkantoran, rumah ibadah, restoran, pusat perbelanjaan, lokasi wisata, dan sebagainya kembali ditutup, roda ekonomi yang sempat berputar pasti mandek lagi.
Jakarta bukan hanya berstatus sebagai ibu kota negara. Jakarta adalah jantung perekonomian Indonesia. Sumbangsih Jakarta terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional adalah yang tertinggi dibandingkan provinsi lainnya. Jika ekonomi Jakarta melambat, maka akan mempengaruhi PDB Indonesia secara keseluruhan.
Sebelumnya, Bank Dunia sudah memberi wanti-wanti bahwa Indonesia bakal mengalami resesi jika pembatasan sosial (social distancing) kembali diketatkan. Lembaga yang berkantor pusat di Washington DC itu memperkirakan ekonomi Indonesia stagnan, tidak tumbuh, 0% pada tahun ini. Namun kalau PSBB ketat lagi, maka PDB Ibu Pertiwi akan mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif) 2%.
"Skenario di mana Indonesia mengalami resesi bisa terwujud jika terjadi lonjakan jumlah kasus yang menyebabkan pemerintah kembali menerapkan PSBB yang lebih ketat pada kuartal III dan IV. Ekonomi sulit untuk pulih ke level pra-pandemi sebelum 2021," tulis laporan Bank Dunia.
Namun, Ekonom Citi Helmi Arman memandang PSBB kali ini tidak akan seketat April-Mei lalu. "Dengan melihat dampak ekonomi dari PSBB yang begitu besar pada kuartal II-2020, kami melihat PSBB kali ini tidak akan seperti dulu. Periodenya pun sepertinya akan lebih singkat," sebut Helmi dalam risetnya.
Meski begitu, Helmi menyebut kembalinya PSBB total pasti akan berdampak kepada perekonomian. "Saat ini masih terlalu awal untuk melihat dampaknya, tetapi pengetatan tentu akan berdampak ke sektor keuangan. Restrukturisasi kredit perbankan baru saja mulai stabil. Jika sampai terjadi gelombang restrukturisasi kedua, maka laba perbankan akan tertekan lebih lama lagi," tulisnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA