
Direksi BNI Dirombak, Apakah Ada yang Salah di Kinerja?

Jakarta, CNBC Indonesia- Pemerintah melalui Kementerian BUMN memutuskan untuk mengubah susunan direksi PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) melalui Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) yang digelar Rabu 2 September 2020.
Dalam RUPSLB tersebut ada 7 direksi BNI yang diganti termasuk seorang yang tak lulus fit and proper test di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Deretan direksi yang diganti adalah Herry Sidharta, Anggoro Eko Cahyo, Sigit Prastowo, Osbal Saragi Rumahorbo, Putrama Wahju Setyawan, Tambok Parulian Setyawati dan Benny Yoslim.
Mereka digantikan oleh deretan direksi yang berasal dari PT Bank Mandiri Tbk. Mulai dari Royke Tumilaar (Direktur Utama), Silvano Rumantir (Direktur Corporate Banking), David Pirzada (Direktur Manajemen Risiko), Muhammad Iqbal (Direktur Bisnis UMKM), Novita Widya Anggraini (Direktur Keuangan).
Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan bahwa pergantian tersebut dilakukan demi penyegaran di BNI, sehingga kinerjanya diharapkan lebih bagus. Selain itu dia menyoroti soal kekompakan antara sesama direksi maupun dengan komisaris.
"Saya perlu Dirut (direktur utama) dan Komut (Komisaris Utama yang kuat, yang bisa kerja sama, saling bantu, saling mengawasi, bukan berarti Komut menjadi direksi atau direksi yang tidak mau diawasi oleh komisaris," ujarnya Kamis, 3 September 2020.
Meski Menteri Erick telah menegaskan demikian, menjadi pertanyaan di pasar apakah pergantian ini memiliki kaitan dengan kinerja BNI. Apakah kinerja BNI di bawah ekspektasi sehingga perlu dilakukan perombakan?
Berdasarkan laporan keuangan BNI Semester I-2020, laba bersih BNI memang turun 41,6% dibandingkan setahun sebelumnya. Namun hal tersebut sejalan dengan kondisi profit perbankan yang tergerus pandemi virus corona (Covid-19). Misalnya, laba Bank Tabungan Negara (BTN) turun 41,24%, lalu BRI turun 36,9%, dan Bank Mandiri turun 23,9%.
Kinerja penyaluran kredit BNI pun masih inline dengan saudara-saudaranya di BUMN. Kredit BNI tumbuh 5%, sementara Bank Mandiri 4,4%, BRI 5,2% dan BTN yang terendah dengan 0,32% atau nyaris flat.
Dari sisi dana pihak ketiga, hingga semester I-2020 pertumbuhan di BNI masih double digit, sama dengan Bank Mandiri dan BRI. Adapun BTN mencatatkan pertumbuhan DPK terkecil, yakni 2,99%.
Secara industri laba perbankan turun 20,29% pada semester I-2020, sementara kredit tumbuh 1,49%, dan DPK tumbuh 7,95%. Data tersebut mencerminkan bahwa BNI dan bank BUMN lain masih menjadi motor pertumbuhan di perbankan, sesuai dengan arahan pemerintah untuk meningkatkan ekonomi.
Head of Investment Avrist Asset Management Farash Farich mengatakan kondisi BNI masih sejalan dengan bank BUMN lainnya. "Kalau dilihat Bank BUMN lain tidak lebih baik dari BNI," ujar Farash kepada CNBC Indonesia, Rabu (9/9/2020).
Sementara itu, dari sisi kualitas aset, sebenarnya BNI lebih unggul daripada bank BUMN lainnya. Rasio kredit bermasalah (NPL) gross di BNI berada pada level 3%. Sementara itu, BTN mencatatkan NPL 4,71%, Bank Mandiri 3,3% dan BRI 3,13%.
Berikutnya loan at risk (LaR) dari BNI jauh lebih baik dari seluruh bank BUMN. LaR BNI berada di level 10,8%, sementara Bank mandiri 22,2%, dan BRI 28,9%.
NPL merupakan perhitungan kredit bermasalah dengan kolektibilitas 3 sampai 5. Sementara LaR merupakan perhitungan nilai NPL ditambah dengan kolektibilitas 1 hasil restrukturisasi dan kolektibilitas 2.
Dalam menghadapi ketidakpastian ke depan, BNI pun telah menaikan pencadangan sebesar Rp 4,4 triliun selama 6 bulan pertama 2020. Total rasio coverage NPL naik menjadi 214,1%, dibandingkan akhir 2019 133,5%. Sementara itu, NPL coverage dari Bank Mandiri berada di 196% dan BRI di 200%.
Hal ini mencerminkan bahwa BNI memiliki bantalan yang lebih kuat dalam menghadapi ketidakpastian di tengah pandemi dan ancaman resesi ekonomi.
Farash Farich mengatakan kenaikan NPL di tengah pandemi Covid-19 memang tak mungkin dihindari. Meski demikian kenaikan NPL ini sudah terbantu dengan restrukturisasi yang diberikan kepada debitur sehingga tidak melonjak tinggi.
"Menurut saya masih normal mengingat loan loss coverage ratio masih di atas 200% di kuartal II-2020 untuk ketiga bank tersebut," kata Farash.
"Ada peluang untuk kinerja bank menjadi semakin baik dalam perjalanan ke akhir tahun. Selama kebijakan pemerintah menggunakan relaksasi PSBB di lokasi ekonomi utama seharusnya terburuk di kuartal II-2020," tambahnya.
Senada dengan Farash, Ekonom Bina Nusantara Doddy Ariefianto mengatakan penyebab utama kenaikan NPL adalah pandemi Covid-19 dan pelaksanaan PSBB sebagai upaya pencegahan yang membatasi mobilitas masyarakat.
Akibatnya banyak pengusaha yang menahan ekspansi ataupun usahanya terhenti, akibatnya aktivitas bisnis pun turun sehingga banyak yang kesulitan membayar kewajibannya kepada bank. Secara jangka panjang masih banyak ketidakpastian ke depannya, karena semua tergantung pada penemuan vaksin atau obat yang kredibilitasnya tinggi.
"Makanya ada relaksasi dari OJK, tetapi tetap tidak bisa menghilangkan kenaikan NPL ini. Ini hanya membantu perusahaan yang masih mau bertahan dan survive tetapi ada juga yang tidak, sehingga NPL beranjak naik," kata Doddy.
Meski demikian dia menilai kenaikan NPL oleh ketiga bank BUMN tersebut masih dalam batas yang dapat dimaklumi terutama dalam kondisi ini. Yang harus diwaspadai ketika NPL Net perbankan mencapai 5%, sehingga jika masih di bawah angka tersebut masih bisa ditoleransi.
"Gross NPL kan sekitar 3%, dan nett NPL sekitar 2%. Net NPL itu kan kredit kolektibilitas macet dikurangi agunan, jadi kalau agunan masih mencukupi bisa mengcover, kalau NPL nett masih dibawah 5% masih bisa ditoleransi," katanya.
Data-data tersebut memperlihatkan bahwa tidak ada yang salah dengan kinerja BNI hingga semester I-2020.
Memang benar kata Menteri Erick, BNI hanya butuh penyegaran.
(dob/dob)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Royke Tumilaar Jadi Dirut Baru BNI