Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah di perdagangan pasar spot hari ini. 'Cuaca' di luar memang sedang tidak bersahabat buat mata uang Tanah Air.
Pada Rabu (9/9/2020), US$ 1 setara dengan Rp 14.750 kala pembukaan pasar spot. Rupiah menguat tipis 0,07% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Namun rupiah tidak bisa bertahan lama di jalu hijau. Pada pukul 09:07 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.780 di mana rupiah terdepresiasi 0,14%.
Kemarin, rupiah menutup perdagangan pasar spot dengan depresiasi 0,2% di hadapan dolar AS. Hari ini, kemungkinan mata uang Tanah Air masih akan lesu.
Depresiasi rupiah tidak lepas dari kebangkitan dolar AS. Pada pukul 07:36 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,06%.
Dolar AS memang sudah kelewat 'murah' sehingga menarik minat investor. Dalam tiga bulan terakhir, Dollar Index masih terkoreksi 2,56% dan sejak akhir tahun lalu (year-to-date) pelemahannya mencapai 2,99%. Jadi, mata uang Negeri Paman Sam memang punya ruang untuk mencatatkan technical rebound.
Selain itu, investor juga menantikan rapat bank sentral Uni Eropa (ECB) yang hasilnya akan diumumkan Kamis pekan ini. Pelaku pasar memperkirakan suku bunga acuan Benua Biru tetap bertahan di 0%.
Namun, kemungkinan ECB akan merevisi proyeksi inflasi seiring lemahnya permintaan akibat pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Proyeksi saat ini adalah 0,3% untuk 2020, 0,8% pada 2021, dan 1,3% di 2022.
"Penurunan harga minyak akhir-akhir ini akan menyebabkan inflasi masih berada di kisaran 0% dalam beberapa bulan ke depan. Namun deflasi juga sepertinya akan terlihat di berbagai harga barang dan jasa karena permintaan yang masih lemah," sebut keterangan tertulis ECB.
Investor punya ekspektasi Gubernur Christine Lagarde dan sejawat akan menyampaikan pesan yang bernada lebih dovish lagi. Bukan tidak mungkin proyeksi inflasi akan diturunkan menjadi deflasi.
"ECB mungkin akan mulai khawatir dengan penguatan mata uang euro akhir-akhir ini, dan bisa jadi akan mengubah proyeksi inflasi. Kami berpandangan dolar AS bisa menguat sepanjang pekan ini karena potensi kebijakan ECB yang lebih dovish," kata Kim Mundy, Currency Analyst di Commonwealth Bank of Australia, seperti dikutip dari Reuters.
Kemudian, investor juga cemas terhadap perkembangan terkini dari pengembangan vaksin anti-corona. Stat News melaporkan, AstraZaneca menghentikan sementara uji coba vaksin tahap III karena ada reaksi serius dari seorang relawan.
"Proses standar mengharuskan kami menghentikan vaksinasi untuk melakukan kajian terhadap keamanan. Dalam uji coba berskala besar memang ada risiko tetapi harus dilihat secara terpisah dan dikaji dengan hati-hati," sebut keterangan tertulis AstraZaneca.
Kabar ini membuat pelaku pasar (dan dunia) kecewa. Sebab, vaksin adalah harapan agar bisa kembali hidup normal. Sepanjang belum ada vaksin, aktivitas publik sulit untuk seperti dulu lagi karena virus mematikan selalu mengancam.
Akibatnya, investor jadi berpikir ulang untuk mengambil risiko. Arus modal yang mengalir ke pasar keuangan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, menjadi terbatas. Rupiah yang kekurangan 'darah' tidak punya opsi lain selain melemah.
Well, dolar AS yang melemah belakangan ini memicu persepsi bahwa mata uang ini kurang layak untuk dikoleksi. Namun dengan tren penguatan yang ada, sepertinya itu jadi kurang bijak. Dolar AS ternyata masih punya sesuatu untuk ditawarkan kepada pelaku pasar.
TIM RISET CNBC INDONESIA